Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi laki-laki pekerja (pexels.com/MART PRODUCTION)
ilustrasi laki-laki pekerja (pexels.com/MART PRODUCTION)

Intinya sih...

  • Menyembunyikan emosi (kecuali marah). Salah satu hal paling umum adalah menekan emosi: takut nangis, malu curhat, dan enggan menunjukkan kelemahan. Padahal, laki-laki yang berani mengakui dan mengelola emosinya adalah mereka yang benar-benar kuat dan dewasa secara emosional.

  • Pamer status dan aset. Banyak pria merasa harus menunjang kejantanan mereka lewat status sosial: mobil keren, baju mahal, gadget terbaru. Jika motivasinya hanya untuk tampil “jantan” di mata orang lain, kamu akan terus merasa gak cukup.

  • Bertingkah agresif dan dominan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sejak kecil, laki-laki sering dibesarkan dengan narasi sempit soal apa itu “jantan”: harus kuat, dominan, gak cengeng, berani, dan tahan banting. Akibatnya, banyak laki-laki tumbuh dengan tekanan untuk selalu tampil maskulin, meskipun itu bukan kepribadian aslinya.

Alih-alih jadi otentik, banyak pria justru masuk ke mode “survival sosial” melakukan hal-hal tertentu bukan karena mereka mau, tapi karena ingin diakui sebagai laki-laki sejati. Sayangnya, banyak dari hal-hal ini justru merugikan diri sendiri, orang lain, dan hubungan yang mereka bangun.

1. Menyembunyikan emosi (kecuali marah)

ilustrasi menyembunyikan emosi (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)

Salah satu hal paling umum adalah menekan emosi: takut nangis, malu curhat, dan enggan menunjukkan kelemahan. Akhirnya, satu-satunya emosi yang “boleh” ditampilkan hanyalah marah karena marah dianggap sebagai bentuk kekuatan.

Padahal, menyembunyikan emosi bisa menyebabkan stres kronis, kesepian, bahkan ledakan emosional yang lebih parah. Justru, laki-laki yang berani mengakui dan mengelola emosinya adalah mereka yang benar-benar kuat dan dewasa secara emosional.

2. Pamer status dan aset

ilustrasi memiliki aset mobil (pexels.com/Hassan OUAJBIR)

Banyak pria merasa harus menunjang kejantanan mereka lewat status sosial: mobil keren, baju mahal, gadget terbaru, atau sekadar flexing di media sosial. Semua itu sering dijadikan simbol “laki-laki sukses”, yang sayangnya terlalu dangkal.

Bukan salah punya hal-hal bagus, tapi jika motivasinya hanya untuk tampil “jantan” di mata orang lain, kamu akan terus merasa gak cukup. Lebih parah, kamu bisa kehilangan arah karena terus mengejar validasi eksternal, bukan kepuasan batin.

3. Bertingkah agresif dan dominan

ilustrasi pasangan tangga (pexels.com/Kampus Production)

Banyak laki-lakimengira bahwa bersikap dominan di rumah, di tongkrongan, bahkan di hubungan asmara adalah tanda kejantanan. Mereka takut terlihat “lemah” kalau bersikap lembut atau kompromis.

Faktanya, dominasi bukan maskulinitas, tapi cerminan ketakutan. Laki-laki yang benar-benar percaya diri justru bisa bersikap tenang, mendengarkan, dan menghargai pendapat orang lain tanpa merasa harga dirinya terancam.

4. Menghindari hal-hal “Feminin”

ilustrasi berolahraga (pexels.com/Timothy)

Entah kenapa, banyak hal yang menyenangkan, bermanfaat, dan sehat dianggap “gak jantan” hanya karena diasosiasikan dengan perempuan. Akibatnya, banyak laki-laki menahan diri untuk mencoba hal-hal yang sebenarnya mereka sukai.

Ini bukan cuma membatasi pengalaman hidup, tapi juga bikin laki-laki sulit berkembang secara emosional dan sosial. Padahal, merawat diri, punya empati, dan bisa menikmati keindahan bukan tanda kelemahan itu tanda kamu manusia seutuhnya.

5. Berlomba dalam urusan seksualitas

ilustrasi bisa menaklukkan perempuan (pexels.com/Vlada Karpovich)

Budaya patriarki mengajarkan bahwa “jantan” artinya punya banyak pengalaman seksual atau “menaklukkan” banyak pasangan. Banyak laki-laki akhirnya merasa perlu membuktikan nilai dirinya lewat cerita soal jumlah mantan, “penaklukan”, atau dominasi seksual.

Padahal, ini bukan cuma merendahkan pasangan, tapi juga merendahkan dirinya sendiri. Hubungan yang sehat dan berkualitas jauh lebih bernilai daripada pencapaian ego semu. Jadi, berhentilah berlomba soal hal yang seharusnya bersifat pribadi dan penuh rasa hormat.

Kalau kamu pernah melakukan salah satu (atau semua) dari hal di atas, kamu gak sendirian. Banyak laki-laki juga sedang (atau pernah) terjebak dalam pencarian identitas yang didikte oleh masyarakat, bukan dari dalam diri.

Tapi sekarang kamu punya pilihan: terus “berperan” jadi laki-laki yang mereka mau, atau mulai jadi laki-laki yang kamu sendiri kenal dan yakini. Karena jadi jantan sejati bukan tentang siapa yang paling keras, paling dominan, atau paling berkuasa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team