Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengapa Laki-Laki Ingin Pasangan Seperti Ibunya?

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Ron Lach)
Intinya sih...
  • Ingatan masa kecil membentuk standar pasangan hidup bagi laki-laki
  • Perempuan menafsirkan pengalaman ibu sebagai pelajaran hidup
  • Konstruksi sosial memengaruhi imajinasi tentang pasangan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pasangan hidup sering kali dipandang sebagai sosok yang akan menemani sepanjang usia, sehingga kriteria yang dipilih seseorang pun tidak lepas dari pengalaman paling dekat yang pernah mereka alami. Dalam banyak diskursus di media sosial, terlihat jelas kecenderungan laki-laki yang mendamba pasangan dengan karakter mirip ibunya.

Fenomena ini berbeda dengan perempuan, yang justru kerap memilih sosok suami yang jauh lebih baik daripada ayahnya. Ada yang menilai bahwa perempuan melihat ibunya sebagai gambaran pengorbanan yang ingin diubah, sementara laki-laki justru melihat ibunya sebagai teladan yang patut dicari dalam pasangan hidup. Berikut sudut pandang yang bisa menjelaskan mengapa hal ini terjadi.

1. Ingatan masa kecil membentuk standar pasangan hidup

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Bagi banyak laki-laki, hubungan dengan ibu sejak kecil menjadi fondasi cara mereka memandang perempuan. Ibu adalah figur pertama yang hadir saat sakit, lapar, atau cemas, sehingga pengalaman emosional itu terekam kuat dalam ingatan. Tidak mengherankan jika sebagian laki-laki mendambakan pasangan hidup yang mampu menghadirkan kenyamanan serupa, baik dalam bentuk perhatian, kelembutan, maupun rasa aman. Hal ini bukan semata tentang mencari sosok pengganti ibu, melainkan tentang kebutuhan psikologis akan keakraban yang sudah terbentuk sejak dini.

Namun, pengalaman masa kecil setiap orang berbeda. Laki-laki yang tumbuh dalam keluarga harmonis lebih mungkin mengidealkan pasangan seperti ibunya, sedangkan mereka yang menyaksikan konflik atau kekerasan justru berusaha menjauhi pola serupa. Artinya, preferensi itu tidak tunggal, tetapi sangat dipengaruhi oleh memori personal. Ingatan masa kecil bekerja sebagai lensa yang membentuk ekspektasi, baik pada laki-laki maupun perempuan, meski arah tafsirnya bisa sangat berbeda.

2. Perempuan menafsirkan pengalaman ibu sebagai pelajaran hidup

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Elina Fairytale)
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Elina Fairytale)

Jika laki-laki sering mengulang pengalaman masa kecil, perempuan justru lebih banyak menafsirkan pengalaman ibunya sebagai bahan refleksi. Banyak perempuan tumbuh dengan melihat bagaimana ibunya berkorban, mungkin meninggalkan pendidikan atau pekerjaan demi keluarga. Situasi ini melahirkan keinginan agar pasangan yang kelak dipilih bisa mendukung karier atau pilihan hidupnya, sesuatu yang tidak selalu didapatkan oleh ibunya. Dari sini terlihat bahwa perempuan lebih sering menggunakan pengalaman ibu sebagai pelajaran, bukan standar.

Hal ini juga menjelaskan mengapa sebagian perempuan justru memilih pasangan yang sangat berbeda dengan ayahnya. Ada yang menginginkan pasangan lebih komunikatif, lebih suportif, atau lebih egaliter, sebagai koreksi atas kekurangan yang mereka saksikan di rumah. Dengan cara ini, perempuan tidak menjadikan ibunya sebagai sosok idaman yang ingin digandakan, melainkan sebagai titik tolak untuk memperbaiki arah hidup. Perbedaan inilah yang membuat diskusi soal pasangan ideal selalu dipenuhi perspektif berlapis.

3. Konstruksi sosial memengaruhi imajinasi tentang pasangan

ilustrasi pasangan (pexels.com/Tim Mossholder)
ilustrasi pasangan (pexels.com/Tim Mossholder)

Budaya populer di televisi, film, hingga percakapan sehari-hari, sering menggambarkan ibu sebagai sosok sempurna: penuh pengabdian, penyabar, dan selalu ada untuk keluarga. Narasi ini membentuk imajinasi laki-laki bahwa pasangan hidup ideal seharusnya memiliki sifat serupa. Dari kecil, laki-laki menyerap gambaran itu tanpa sadar, sehingga ketika dewasa mereka membawa ekspektasi yang sama ke dalam hubungan romantis.

Sebaliknya, perempuan tumbuh dengan beban berbeda. Mereka tidak hanya diminta meniru ibunya, tetapi juga diarahkan untuk memperbaiki kehidupan ibunya. Itulah sebabnya banyak perempuan menolak pola lama, karena ingin menghindari pengulangan yang dianggap membatasi. Harapan sosial ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang berbeda sejak awal, sehingga hasilnya pun berlawanan laki-laki mendamba pengulangan, perempuan mendamba perubahan.

4. Pola asuh menghasilkan preferensi yang tidak seimbang

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Kindel Media)
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Kindel Media)

Pola asuh memainkan peran besar dalam membentuk pandangan anak terhadap pasangan hidup. Laki-laki yang dibesarkan dengan banyak perhatian dan pelayanan cenderung menganggap hal itu normal dan wajar diteruskan. Ketika dewasa, mereka mencari pasangan yang bisa melanjutkan pola serupa. Sebaliknya, perempuan yang menyaksikan ibunya menanggung sebagian besar beban rumah tangga, sering bertekad untuk menghindari nasib serupa.

Perbedaan inilah yang membuat arah pencarian pasangan tidak sama. Laki-laki mencari kontinuitas, sementara perempuan mencari koreksi. Pola asuh yang menekankan peran tradisional perempuan semakin memperkuat perbedaan ini. Jika pola tersebut tidak dipertanyakan, ekspektasi pasangan akan terus timpang dan berpotensi menimbulkan kekecewaan di kemudian hari.

5. Dinamika gender menentukan arah ekspektasi

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Kindel Media)
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Kindel Media)

Fenomena laki-laki yang ingin pasangan seperti ibunya juga mencerminkan realitas gender di masyarakat. Perempuan sejak lama ditempatkan pada ranah domestik, sehingga laki-laki tumbuh dengan anggapan bahwa itulah peran utama perempuan. Akibatnya, ekspektasi mereka cenderung mengulang peran lama yang sudah dikenalnya sejak kecil. Perempuan modern menolak hal itu, karena mereka ingin pasangan yang bisa berbagi tanggung jawab dan memberi ruang setara.

Ketegangan ini memperlihatkan pergeseran zaman. Jika dulu perempuan tidak punya banyak pilihan, kini semakin banyak yang menuntut kesetaraan dalam keluarga. Laki-laki yang masih berpegang pada pola lama akan sulit memahami perubahan ini, sehingga benturan nilai kerap terjadi. Fenomena ini seharusnya membuka ruang refleksi, bahwa hubungan yang sehat tidak lagi bisa dibangun dengan mengulang masa lalu, melainkan dengan menegosiasikan ulang peran secara setara.

Fenomena laki-laki yang ingin pasangan hidup seperti ibunya bukan hanya urusan pribadi, melainkan hasil dari memori masa kecil, pola asuh, serta konstruksi sosial yang terus diwariskan. Perempuan justru banyak belajar dari ibunya untuk mencari pasangan berbeda demi kehidupan yang lebih setara. Dari sini terlihat bahwa pertanyaan tentang pasangan ideal bukan sekadar soal selera, melainkan cermin dari dinamika gender yang masih berlangsung hingga hari ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us