Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pasangan berkencan (usnplash.com/Wesley Tingey)
ilustrasi pasangan berkencan (usnplash.com/Wesley Tingey)

Intinya sih...

  • Kasih sayangnya hanya muncul saat membutuhkan sesuatu

  • Membuat rasa bersalah untuk mendapatkan kendali

  • Memberi pujian berlebihan untuk mengendalikan perasaan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Hubungan yang sehat selalu berakar pada ketulusan, saling menghormati, dan kejujuran emosional. Namun, tidak semua bentuk kasih sayang memiliki niat yang murni. Ada kalanya seseorang menampilkan perhatian dan cinta yang tampak tulus di permukaan, tetapi di baliknya tersimpan motif tersembunyi untuk mengendalikan, memengaruhi, atau memperoleh sesuatu dari pasangan. Fenomena ini dikenal sebagai bentuk manipulasi emosional, di mana kasih sayang dijadikan alat untuk mengatur perilaku orang lain.

Hubungan yang diwarnai manipulasi tidak hanya menguras energi emosional, tetapi juga dapat menurunkan rasa percaya diri seseorang. Ketika kasih sayang berubah menjadi alat kontrol, hubungan kehilangan keseimbangan dan keaslian. Seseorang yang berada dalam situasi tersebut kerap bingung membedakan antara perhatian yang tulus dan tindakan manipulatif yang dibungkus dengan cinta.

Supaya kamu tidak salah memahami, langsung saja simak ketujuh indikasi gebetanmu menggunakan kasih sayang sebagai manipulasi berikut ini. Scroll sampai akhir, ya!

1. Kasih sayangnya hanya muncul saat membutuhkan sesuatu

ilustrasi pasangan berkencan (pexels.com/Anastasiya Lobanovskaya)

Salah satu tanda paling jelas dari manipulasi emosional adalah kasih sayang yang bersifat conditional, alias muncul hanya ketika pelaku ingin mendapatkan sesuatu. Gebetan semacam ini bisa tampak sangat perhatian, penuh cinta, dan manis ketika sedang menginginkan bantuan, validasi, atau kepatuhan. Namun, ketika keinginannya tidak terpenuhi, sikapnya langsung berubah menjadi dingin, menjauh, atau bahkan membuat pasangan merasa bersalah.

Bentuk kasih sayang yang seperti ini menciptakan ketidakseimbangan emosional. Pihak yang menjadi korban sering kali merasa harus terus menuruti keinginan agar tidak kehilangan perhatian tersebut. Padahal, cinta sejati tidak pernah bersyarat. Ketika seseorang hanya memberikan kasih saat butuh dan menariknya kembali saat kecewa, hubungan itu tidak lagi didasari kejujuran, melainkan kontrol dan manipulasi terselubung.

2. Membuat rasa bersalah untuk mendapatkan kendali

ilustrasi pasangan berkencan (pexels.com/Andre Furtado)

Manipulator yang menggunakan kasih sayang sering kali mahir menciptakan rasa bersalah dalam diri pasangannya. Mereka akan membuat seseorang merasa tidak cukup baik, tidak peka, atau tidak mencintai dengan benar hanya karena tidak menuruti permintaan mereka. Taktik ini disebut emotional guilt-tripping, yakni memanfaatkan perasaan bersalah untuk mengontrol perilaku orang lain. Akibatnya, korban merasa terpaksa memenuhi harapan sang manipulator agar terhindar dari rasa bersalah.

Rasa bersalah yang ditanamkan ini lambat laun mengikis rasa percaya diri dan membuat seseorang sulit menolak. Manipulator akan terus menggunakan strategi ini untuk memperkuat posisi dominan dalam hubungan. Setiap kali korban mencoba bersikap tegas, rasa bersalah kembali ditanamkan sehingga siklus kontrol terus berulang. Dalam hubungan yang sehat, tidak ada ruang bagi rasa bersalah yang dipaksakan, apalagi jika digunakan untuk menundukkan pasangan secara emosional.

3. Memberi pujian berlebihan untuk mengendalikan perasaan

ilustrasi pasangan berkencan (pexels.com/Jasmin Wedding Photography)

Tidak semua pujian berasal dari ketulusan. Dalam konteks manipulasi, pujian bisa menjadi alat untuk menciptakan ketergantungan emosional. Gebetan yang manipulatif akan memberikan sanjungan luar biasa setiap kali seseorang melakukan sesuatu yang diinginkan, namun akan menarik kembali pujiannya saat terjadi perbedaan pandangan. Tindakan ini membuat seseorang terus berusaha menyenangkan manipulator agar kembali mendapatkan validasi yang sama.

Sistem reward and punishment yang disamarkan dengan kasih sayang seperti ini perlahan menanamkan pola pikir bahwa cinta harus diperjuangkan dengan pengorbanan diri. Padahal, pujian yang sehat seharusnya diberikan tanpa maksud tersembunyi. Bila seseorang terus merasa harus layak untuk dicintai, itu tanda bahwa hubungan tersebut telah berubah menjadi permainan kendali yang merusak keseimbangan emosional kedua belah pihak.

4. Menarik diri untuk menguji kepatuhan

ilustrasi pasangan berkencan (pexels.com/Gabriel Bastelli)

Dalam beberapa hubungan, manipulasi muncul dalam bentuk silent treatment atau penarikan diri secara emosional untuk menguji kesetiaan. Gebetan yang menggunakan kasih sayang sebagai alat manipulasi akan sengaja menjauh, tidak memberi kabar, atau bersikap dingin agar pasangannya merasa cemas. Tujuannya adalah memancing reaksi emosional dan memastikan bahwa pasangannya masih bergantung secara perasaan.

Teknik ini menciptakan ketegangan psikologis yang berat. Seseorang yang menjadi korban sering kali merasa bersalah tanpa tahu kesalahannya. Rasa cemas untuk memperbaiki keadaan membuat korban berusaha lebih keras menunjukkan kasih sayang, yang justru memperkuat kendali sang manipulator. Dalam hubungan yang sehat, komunikasi adalah solusi, bukan senjata. Mengabaikan pasangan untuk menguji kepatuhan hanya memperlihatkan sifat egois dan tidak dewasa.

5. Menggunakan trauma atau masa lalu sebagai senjata

ilustrasi pasangan berkencan (pexels.com/Tirachard Kumtanom)

Salah satu bentuk manipulasi yang paling halus adalah ketika seseorang menggunakan kisah masa lalu atau luka emosionalnya untuk membenarkan tindakan yang tidak sehat. Gebetan yang manipulatif sering kali mengaku memiliki trauma dan menjadikannya alasan atas perilaku menyakitkan. Mereka menuntut pengertian tanpa mau berusaha memperbaiki diri. Pada awalnya, hal ini menimbulkan rasa empati dari pasangan, tetapi seiring waktu menjadi beban emosional yang berat.

Taktik semacam ini memanfaatkan simpati untuk menghindari tanggung jawab. Korban merasa harus selalu mengalah agar tidak memicu luka lama sang manipulator. Padahal, setiap orang bertanggung jawab atas perilakunya sendiri. Menggunakan trauma sebagai tameng untuk mengendalikan atau mendapatkan kasih sayang adalah bentuk manipulasi yang mengikis batas antara empati dan penyalahgunaan emosional.

6. Mengontrol keputusan dengan dalih cinta

ilustrasi pasangan sedang berkencan (unsplash.com/photo nic)

Manipulator kerap menyamarkan keinginannya untuk mengatur pasangan dengan alasan cinta. Mereka mungkin berkata bahwa tindakan tersebut demi kebaikan bersama, padahal sebenarnya bertujuan membatasi kebebasan. Gebetan seperti ini ingin tahu semua hal, mulai dari dengan siapa seseorang bergaul hingga apa yang dilakukan setiap waktu. Pada awalnya, hal ini terlihat seperti bentuk perhatian, tetapi lambat laun berubah menjadi kontrol yang menekan.

Ketika seseorang dilarang mengambil keputusan pribadi atau merasa harus selalu meminta izin untuk hal kecil, itu tanda bahaya yang nyata. Cinta sejati tidak pernah menuntut pengorbanan kebebasan individu. Setiap hubungan seharusnya memberikan ruang bagi kedua belah pihak untuk tumbuh. Jika kasih sayang justru membuat seseorang merasa terperangkap, itu berarti hubungan tersebut telah berubah menjadi medan manipulasi yang berbahaya.

7. Menampilkan kasih sayang di hadapan publik, tapi berbeda saat sendiri

ilustrasi pasangan sedang berkencan (unsplash.com/Anneliese Phillips)

Gebetan yang manipulatif sering kali pandai membangun citra. Mereka bisa tampak penuh kasih, hangat, dan memuja di depan orang lain, tetapi bersikap dingin atau bahkan kasar saat tidak ada yang melihat. Perilaku ini menunjukkan kebutuhan untuk menjaga reputasi dan kendali, bukan ekspresi cinta yang tulus. Dalam psikologi hubungan, ini dikenal sebagai image management, yaitu usaha mengatur persepsi orang lain terhadap hubungan demi keuntungan pribadi.

Perbedaan drastis antara sikap di depan publik dan di ruang pribadi menandakan ketidakjujuran emosional. Seseorang yang benar-benar mencintai tidak akan memperlakukan pasangannya dengan dua wajah. Ketika kasih sayang hanya dipertontonkan untuk mendapatkan pengakuan sosial, hubungan kehilangan keaslian. Kasih yang sejati tidak membutuhkan panggung, karena selalu hadir dalam keheningan sekalipun tanpa sorotan.

Setiap individu berhak mendapatkan kasih sayang yang jujur dan bebas dari permainan emosional. Hubungan yang sehat selalu melibatkan rasa saling menghargai, kebebasan, serta komunikasi terbuka tanpa tekanan tersembunyi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team