Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Banyak Pria Ambisius Justru Sering Kena Quarter Life Crisis?

ilustrasi pria cemas
ilustrasi pria cemas (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Intinya sih...
  • Terlalu fokus pada target sampai lupa menikmati prosesPria ambisius kehilangan apresiasi pada proses karier karena terlalu fokus pada hasil akhir, membuat hidup terasa lelah dan tanpa rasa.
  • Ekspektasi sosial dan tekanan untuk "berhasil sebelum 30"Narrasi sukses sebelum usia tertentu menciptakan tekanan pribadi yang membuat pria ambisius merasa cemas dan malu ketika kenyataan tidak sesuai ekspektasi.
  • Kurangnya ruang emosional untuk mengakui kerentananPria ambisius kesulitan mengungkapkan kelelahan mental karena diajarkan untuk kuat, menyebabkan emosi menumpuk dan berdampak negatif pada diri mereka.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak pria ambisius tumbuh dengan dorongan kuat untuk terus maju, sukses, dan berada di posisi yang lebih tinggi dari hari kemarin. Tekanan internal itu sering terasa seperti bahan bakar yang terus menyala, tapi di sisi lain juga dapat berubah menjadi beban yang sulit dijelaskan. Ada masa ketika ambisi tersebut tidak sejalan dengan kenyataan, lalu muncul perasaan kosong, bingung, atau bahkan mempertanyakan tujuan hidup yang selama ini dikejar.

Pada titik ini, bukan berarti ambisi itu salah. Justru kondisi emosional seperti ini umum terjadi ketika seseorang sudah terlalu fokus pada pencapaian sampai lupa menyisakan ruang bernapas untuk diri sendiri. Karena itu, mari coba memahami fenomena ini lebih dalam, agar siapa pun yang sedang mengalaminya tetap punya pijakan untuk melangkah. Yuk, baca sampai akhir dan coba refleksikan pelan-pelan.

1. Terlalu fokus pada target sampai lupa menikmati proses

ilustrasi pria fokus kerja (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi pria fokus kerja (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Pria ambisius biasanya sangat terorganisir dan punya rencana karier jangka panjang yang jelas. Namun, ada kalanya fokus yang terlalu besar pada hasil akhir membuat seseorang kehilangan apresiasi pada proses yang sedang berjalan. Semua langkah terasa seperti tangga yang harus cepat dilewati, bukan perjalanan yang seharusnya hadir dengan pengalaman, pelajaran, dan waktu untuk merayakan capaian kecil.

Ketika hidup hanya diukur dari target yang tercapai atau belum, tubuh dan pikiran jadi lelah. Ketidakpuasan datang bukan karena kurang mampu, tapi karena standar yang dipasang terlalu tinggi dan terlalu kaku. Pada akhirnya, proses yang seharusnya memberikan pelajaran justru terasa seperti beban harian yang membuat jiwa kehilangan rasa.

2. Ekspektasi sosial dan tekanan untuk “berhasil sebelum 30”

illustrasi cemas (pexels.com/Andrea Piacquadio)
illustrasi cemas (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Narasi tentang harus sukses sebelum usia tertentu masih sering terdengar di lingkaran pertemanan, keluarga, maupun media sosial. Pria ambisius cenderung menyerap norma itu dan menjadikannya semacam tenggat waktu pribadi. Sayangnya, tidak semua perjalanan karier berjalan linear, dan ketika kenyataan tidak sesuai ekspektasi, rasa cemas dan malu dapat muncul tanpa permisi.

Tekanan tersebut membuat hati terasa sempit, seolah waktu terus mengejar dari belakang. Padahal setiap orang punya ritme pertumbuhan yang berbeda dan keberhasilan tidak pernah bisa disamakan. Tetapi karena hasrat untuk membuktikan diri begitu besar, kegagalan kecil pun dapat terasa seperti pukulan besar bagi harga diri.

3. Kurangnya ruang emosional untuk mengakui kerentanan

ilustrasi cemas kerja (pexels.com/Yan Krukau)
ilustrasi cemas kerja (pexels.com/Yan Krukau)

Sejak kecil, banyak pria diajarkan untuk kuat, tahan banting, dan gak mudah mengeluh. Nilai itu terlihat gagah, tapi sering kali juga menutup pintu untuk memahami dan mengekspresikan rasa rentan dalam diri. Ketika kelelahan mental datang, tidak mudah untuk mengatakan, “Aku butuh jeda,” karena hal itu terasa seperti tanda kelemahan.

Akibatnya, emosi yang menumpuk menjadi tegang dan menyakitkan. Tanpa ruang untuk berbicara atau berbagi, pikiran negatif berkembang semakin besar. Dampaknya bisa berupa rasa hampa, kehilangan motivasi, atau bahkan menjauh dari orang-orang terdekat tanpa penjelasan yang jelas.

4. Identitas diri hanya diikat pada prestasi dan pekerjaan

ilustrasi pria berpikir
ilustrasi pria berpikir (pexels.com/MART PRODUCTION)

Pria ambisius sering kali membangun identitas dirinya berdasarkan apa yang dicapai mulai dari jabatan, pencapaian akademis, portofolio karya, atau jumlah proyek yang berhasil. Ketika hal-hal itu berjalan mulus, identitas tersebut terasa kuat. Tapi saat datang masa stagnasi atau kegagalan, pondasi diri dapat terasa rapuh, karena definisi tentang siapa diri sendiri terlalu bergantung pada aspek eksternal.

Hal ini membuat krisis menjadi semakin dalam. Jika diri hanya dinilai dari apa yang bisa dihasilkan, maka kehilangan arah di karier terasa seperti kehilangan jati diri. Padahal, seseorang tetap bernilai bahkan ketika sedang berhenti, meragu, atau mengatur ulang arah hidup.

Quarter life crisis bukan tanda bahwa seorang pria gagal, tetapi sinyal bahwa sudah waktunya melihat ke dalam dan mengenali kembali tujuan hidup dengan cara yang lebih lembut terhadap diri sendiri. Ambisi itu penting, namun ia perlu ruang bernapas agar tidak membakar yang menjalankannya. Setiap orang berhak berjalan dalam ritme yang sesuai dengan dirinya sendiri. Mari tetap melangkah dengan hati yang hadir, bukan hanya langkah yang berlari.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Wahyu Kurniawan
EditorWahyu Kurniawan
Follow Us

Latest in Men

See More

8 Ide Style Outfit untuk Kencan ala Jang Ki Yong, Memesona!

12 Nov 2025, 22:15 WIBMen