Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

MONO dan Instrumen Perayaan Duka

Penampilan spesial MONO Dalam rangakaian tour Asia dari album barunya berjudul Oath, band ini unjuk gigi di Joyland Jakarta 2024 pada 23 November. (IDN Times/Ilyas Mujib)
Intinya sih...
  • Album Oath MONO dirilis pada 2024, bertema kegembiraan dan refleksi atas kehidupan, berbeda dari karya sebelumnya yang identik dengan emosi gelap.
  • Album ini merupakan rangkaian cerita 11 nomor selama 71 menit, diisi dengan unsur kegembiraan dan makna syukur atas kehidupan.
  • MONO berusaha keluar dari zona nyaman dalam penggarapan album Oath, meskipun tetap mempertahankan ciri khas musik orkestra dan gitar shoegaze.

Bagi saya, tahun 2024 adalah tentang Ibu. Sepuluh bulan lalu (26 Februari), sosok yang paling penting itu maherat selamanya. Hari-hari setelahnya, setiap momen terasa sendu, hanya ada sedikit energi dari nada-nada ambient milik unit musik post-rock, MONO yang acap menghibur.

Hingga memasuki akhir Desember, bebunyian dari Takaakira ”Taka” Goto dan kolega sesekali menemani ihwal pengingat memoar masa lampau. Seakan musik mereka jadi sebuah ritual untuk mengenang, refleksi, sekaligus upaya-upaya kecil merayakan duka.

Meski tak selazim alunan jazz atau pop di kuping, langgam instrumen yang MONO suguhkan jadi candu bagi saya. Tanpa bait kata, lagu post-rock mereka seperti mantra dengan banyak tafsir dan tentunya terasa mengaduk emosi.

Acap menikmati musiknya melalui gawai selama perayaan duka, saya akhirnya punya kesempatan menyaksikan MONO lagi. Dalam rangakaian tour Asia dari album barunya berjudul Oath, band ini unjuk gigi di Joyland Jakarta 2024 pada 23 November lalu.

Lagu-lagu dari album paling mutakhir itu mendominasi repetoar MONO dalam penampilan kelimanya di tanah air. Sisanya, mereka memainkan hits jagoan dari album Pilgrimage of the Soul (2021), dan Hymn to the Immortal Wind (2009).

Instrumen bertekstur rock dengan sound mengaum khas band ini masih kentara terdengar dari karya barunya. Musiknya terasa megah dengan bising bebunyian gitar berlapis-lapis yang keluar dari amplifier bertumpuk di atas stage.

Band asal Jepang ini memainkan distorsi melalui dua pilar gitar dengan efek reverb, delay pedal, hingga tremolo yang berdigresi. Gebukan drum dan betotan bas terasa sedikit monoton mengikuti intensitas dinamika lagu.

Namun, saat semua perangkat dileburkan, seluruh instrumennya “menikah” menghasilkan riuh. Suaranya bersahutan diikuti gelombang sonik yang cukup banal bertalu-talu. Itu terasa menenangkan, bak punya unsur magis.

Taka menilai jika kebisingan sama dengan pekik

Penampilan spesial MONO Dalam rangakaian tour Asia dari album barunya berjudul Oath, band ini unjuk gigi di Joyland Jakarta 2024 pada 23 November. (IDN Times/Ilyas Mujib)

Sore hari sebelum MONO mentas, saya berbincang dengan dua personelnya, yakni Takaakira ”Taka” Goto (gitar) dan Dahm Majuri Chipolla (drum) di backstage. Keduanya kompak berpakaian serba hitam dengan kaca mata mentereng.

Decak irama gerimis bersambutan bak dialog debat politisi yang tak ada ujungnya. Suara-suara itu tak saya hiraukan saat Taka dan Chipolla banyak bercerita soal perjalanan MONO dan musik post-rock, hingga tentunya album Oath yang baru dirilis pada Juni 2024.

Taka duduk di kursi dengan menyilangkan kaki sambil memperkenalkan diri. Dengan bahasa Inggris berlogat Jepang, dia mulai mengoceh ihwal karya anyar yang baru saja dirilis beberapa bulan lalu.

Album baru MONO diklaim Taka, berbeda ketimbang karya-karya sebelumnya. Tak bicara soal kegelapan yang kelam, justru Oath dinilai banyak bertutur soal aspek-aspek kegembiraan yang positif, merenungkan waktu yang membentuk kehidupan.

“Ini terasa berbeda dengan album kami sebelumnya yang identik dengan emosi, kemarahan, putus asa, kesedihan, dan terasa gelap. Kali ini ada suara kegembiraan,” kata Taka dengan nada serius.

Sedikit iseng, saya bergumam soal lagu di album Oath yang tetap terasa sendu. Penilaian pribadi ini keluar dari lisan secara spontan saja. Bahkan, saya juga menyebut lagu mereka punya sisi mistis dan jadi sesuatu yang menenangkan (layaknya meditasi).

Dengan sedikit senyum, Taka mengernyitkan dahi dan mencebikkan bibir merespons penilaianku.

“Saya juga tidak yakin jika ini [Oath] jadi cara yang cocok dalam mengekspresikan kegembiraan, tetapi saya menilai jika “suara kegembiraan" ada dalam maknanya,” ujar Taka yang menyiratkan jika setiap orang bebas menangkap makna apapun dari musiknya.

“Menurut saya kebisingan sama dengan pekik, tapi pasti ada sesuatu makna selain kemarahan atau kesedihan di dalamnya, seperti kegembiraan hidup, energi dari cahaya yang positif,” lanjutnya.

Dia tak masalah lagu-lagu di album Oath saya nilai demikian. Dengan nada pelan, dia juga punya perspektif jika album ini merupakan ritus menyucikan jiwanya.

Chipolla kemudian menyahut omongan Taka. Dia merasa jika perbedaan tafsir tak jadi soal. Sebaliknya, dia justru senang jika lagu-lagu MONO membawa energi positif.

“Setidaknya, ada peran dari instrumen yang dimainkan untuk mengajak orang-orang merasakan asa dan memberi secerca cahaya,” katanya terkekeh.

Keduanya tak masalah walau saya menafsirkan musik-musik anyar MONO dengan memoar kesedihan. Namun, Taka dan Dahm percaya, lagu-lagu Oath membawa saya mengalihkan fokus menikmati setiap anugerah ketimbang berkubang dengan kepiluan.

Fokus pada aspek-aspek positif

Album Oath merupakan rangkaian cerita berjumlah 11 nomor dari karya berdurasi 71 menit. Album ini dibuat bertepatan dengan perayaan seperempat abad MONO. Banyak unsur kegembiraan yang diambil untuk mewarnai karya mereka ini.

“Album ini ditulis untuk merayakan ulang tahun ke 25 band ini. Kali ini, kami ingin menciptakan sebuah karya yang berfokus pada aspek-aspek positif, seperti kegembiraan, hingga betapa berharga dan bermaknanya kehidupan” ujar Taka, soal album Oath.

Album Oath sendiri digarap selama setahun. Taka berdalih, materi-materi lagu itu tercipta dari apa yang dia tangkap di setiap momen sejak pandemik menginvasi dunia, dimulai pada musim semi, panas, gugur, dan dingin.

Kala itu, COVID-19 membuat dia merasakan bahwa dunia telah berubah. Sebagai manusia, dia tak pernah tahu apa yang terjadi ke depan dan merasa hidup itu ada batasnya. Alhasil, makna syukur dan kegembiraan dia curahkan dalam karyanya ini.

Taka coba meraba-raba kembali ingatannya. Menurutnya, hal yang biasa selama ini dirasakan setiap orang adalah sesuatu yang istimewa jika diselami maknanya. Alhasil, Oath dibuat sebagai cara berbagi pandang perihal pentingnya hari ini dan memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya.

“Saat saya menggubah musik, saya ingin menangkap apa yang saya rasakan sepanjang tahun dan menulis sebuah cerita untuk meninggalkannya,” beber Taka.

Oath juga dianggap Taka dan Chipolla sebagai antitesis dari peradaban dunia yang semakin buruk. Mereka berdua menilai, bentala semakin keji lantaran muncul pertikaian dan peperangan akhir-akhir ini.

Perangai manusia dianggap mereka telag berubah karena uang, bisnis, konsesi, hingga kekuasaan. Menurutnya, hal itu memantik banyak penderitaan bagi orang-orang.

“Ya, banyak peperangan sekarang. Di Timur Tengah (Palestina), banyak orang jadi korban. Padahal, saya merasa tak ada yang lebih esensial selain saling menghormati, menolong, dan mencintai satu sama lain,” kata Chipolla menjawab dengan tegas.

Semuanya terjadi berkat mendiang Steve Albini

Bicara sisi musikalitas, MONO sendiri berusaha keluar dari zona nyaman di album ini. Mereka mencoba sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya.

Sebetulnya, saya yang awam ini, menilai jika formulasi musik dari album Oath samar-samar masih sama, terdengar seperti gado-gado antara irama rock yang menyentak berpadu dengan dinamika musik klasik.

Chipolla yang menyangga dagunya dengan lengan kanan, buka suara menceritakan proses kreatif album Oath.

“Evolusi musik yang tidak tergesa-gesa dari lagu-lagunya tetap jadi ciri khas katalog band ini,” ujar Chipolla.

Saya kemudian menyelami lebih dalam soal penggarapan materi Oath. Dengan nada sedikit ragu, saya bertanya perihal peran mendiang Steve Albini, yang jadi produser di album ini.

Itu mungkin cukup sentimental bagi Taka dan Chipolla, karena pria yang juga sempat menggarap album Nirvana (In Utero, 1993) itu telah meninggal dunia, tak lama usai album Oath rampung digarap bersama MONO.

Oath jadi kerja sama terakhir kami dengan Steve Albini. Ini jadi karya yang monumental dan sangat istimewa bagi kami. Oath membuat kami dan Steve akan terus terhubung selamnya,” kata Taka dengan tatapan datar.

Saya sebetulnya merasa canggung bicara menyoal Steve. Maklum, rasa duka bakal dirasakan siapapun setiap kehilangan orang yang paling penting, termasuk personel MONO.

Hanya saja, saya juga pengin tahu seberapa istimewa hubungan Steve dan MONO. Sehingga, saya kembali bertanya kepada keduanya. “Seberapa penting Steve Albini bagi MONO?”

Bagi Taka, Steve merupakan orang yang sangat penting dalam perjalanan karier MONO. Menurutnya, banyak hal esensial yang dipelajari dari mendiang dalam penggarapan musik, proses rekaman, hingga menghasilkan karya.

“Dia memberi kami pelajaran. Jika kami merekam penampilan kami secara langsung, seperti saat pertunjukan, kami bisa melahirkan sesuatu yang begitu istimewa,” ucap Taka.

Bersama Steve, MONO telah melakukan cara itu selama dua dekade. Walau teknologi terus berkembang dan maju, termasuk dengan munculnya Artificial intelligence (AI), dia menilai jika sang produser telah mengajarkan betapa berharganya menjaga hal yang lebih manusiawi. 

Kemudian, Chipolla menimpali pembicaraan Taka. Sepanjang penggarapan materi dari album Oath, prosesnya berjalan mulus. Steve dinilai melakukan pekerjaannya sebagai produser dengan sangat spesial dalam karya ini.

“Kami sudah terbiasa bekerja dengannya dalam jangka waktu lama. Hal itu memudahkan kami dalam menggarap album Oath. Semaunya berjalan mulus. Hasilnya juga menurut saya sangat sempurna,” ujar Chipolla dengan nada sedikit sendu.

Album Oath sempat digarap secara daring

Ada fakta menarik yang mencuat saat penggarapan album Oath. Ternyata, materinya sempat digarap secara daring. Sebab, Taka, Hideki "Yoda" Suematsu, dan Tamaki Kunishi berdomisili di Jepang, sedangkan Chipolla terpisah jauh karena tinggal di Amerika Serikat.

“Tapi, pada akhirnya kami bisa berkumpul kembali di Jepang. Bermain band lagi hingga melahirkan kegembiraan yang jadi konsep Oath,” beber Taka sambil mengacak rambutnya.

“Bukan masalah besar saat melakukan itu [menggarap album secara daring], karena kami sudah lama bersama dan tahu album baru ini mau digarap seperti apa,” sahut Dahm menimpali pembicaraan Taka.

Apa yang mereka bicarakan ada benarnya. Rasanya jangan ditanya, setelah didengar dan dinikmati, lantunan instrumen megah khas MONO tetap nampak jelas di album Oath. Distorsi musik yang mereka mainkan meluap-luap nan syahdu.

Taka kemudian melanjutkan pembicaraanya. Dia dengan girang bicara jika ada satu lagu yang dianggap istimewa dalam album ini.

Dengan spontan saya bertanya, “Lagu apa Itu?”

Kemudian, Taka menjawab sigap. “Saya merasa, lagu pertama, yaitu Oath [yang jadi judul album ini] paling penting. Mungkin akan jadi karya berbeda andai saya tak menulis itu."

Saya melongo mendengarnya. Bukan karena bingung, tapi takjub saja dengan apa yang dikatakan sang dalang lahirnya lagu pertama tersebut. Kemudian, muncul pertanyaan lagi dari saya untuk menuntaskan rasa penasaran soal itu. “Mengapa demikian?”

“Entahlah, tema besarnya adalah tentang kegembiraan. Saya merasa saat menulisnya meyakini soal kesadaran untuk bersyukur atas waktu yang kita jalani. Ini jadi proses harmoni baru dari lagu yang sebelumnya dibuat, hingga ide-ide lainnya muncul untuk jadi 10 lagu lainnya,” kata Taka.

Jawaban Taka agak tak biasa bagi saya, pemuja musik heavy metal yang mengklaim bunyi distorsi cadas tak harus syarat makna. 

Hematku, setiap musik yang MONO ciptakan di album Oath digarap lebih spiritual, karena menghubungkan semesta dengan hamoni musik.

“Kenapa Anda begitu filosofis dalam menciptakan sebuah karya?” tanya saya lagi kepada Taka, diikuti jawabannya dengan tawa lepas.

“Dunia ini selalu terbagi dua, ada cahaya dan kegelapan, ada cepat dan lambat, tinggi dan pendek, keras dan lunak, dan lain sebagainya. Ketika itu dimasukkan dalam unsur musik menjadi harmoni, saya merasakan itu sama dengan sebuah keselarasan dalah kehidupan setiap manusia," kata Taka, menjawab itu.

Ogah disebut band post-rock dan shoegaze

Penampilan spesial MONO Dalam rangakaian tour Asia dari album barunya berjudul Oath, band ini unjuk gigi di Joyland Jakarta 2024 pada 23 November. (IDN Times/Ilyas Mujib)

Saya mulai berasumsi, mungkin band post-rock, layaknya MONO, memang cukup filosofis dalam menciptakan karya. Chipolla pun tak menampil soal itu [filosofis], tetapi mereka ogah disebut sebagai band beraliran post-rock.

“Kami tak menyebut MONO sebagai band post-rock atau shoegaze. Kami tak mau mencitrakan dalam satu golongan,” ujar dia.

Taka bahkan punya jawaban lebih sederhana. Dengan santai dia menyebut MONO merupakan band instrumental saja, karena saat band ini aktif, istilah aliran tersebut belum ada.

“Beberapa tahun setelah kami aktif bermusik, lalu muncul istilah untuk skena itu [post-rock] ke berbagai tempat. Kami mengacuhkannya, karena yang terpenting kami punya ciri khas dalam harmonis eksperimental,” lanjut Taka.

Terlepas dari apapun soal penilaian genre musiknya, MONO tetaplah band aransemen dengan suguhan orkestra dan suara gitar shoegaze yang begitu banyak dinikmati pencinta musik di pelbagai belahan dunia. 

MONO bahkan mendapat pujian di Majalah NME sebagai band dengan musik sajian para Dewa. Mereka bisa memperluas musik hingga mempengaruhi genre rock yang lebih rumit. 

Tanpa disadari bahwa musik yang diusung MONO perlahan menjadi semakin penting dalam menciptakan ruang musik baru, di mana mendorong musik rock ke arah audiens yang baru dan berbeda.

Dalam perjalanan selama dekade pertamanya, MONO langsung dikenal sebagai band yang cukup berpengaruh di awal Milenium, terutama dengan penampilan live-nya.

Melalui tur dunia tahunan yang terdiri dari sekitar 150 pertunjukan, MONO bahkan sempat tampil di lebih dari 59 negara. Tak sedikit kritikus maupun penggemar musik Rock menganggap, resonansi penampilannya yang euforia dan dinamis menjadikan MONO salah satu band live terbaik yang pernah ada.

Penampilan monumental yang tak bisa dilupakan adalah kenangan dalam serangkaian pertunjukan orkestranya, khusus merayakan ulang tahun satu dekade MONO di New York, Tokyo, London dan Melbourne. Kemudian, pertunjukkan itu diabadikan sebagai album live Holy Ground.

Secara harfiah, MONO mungkin jadi salah satu band filosofis dengan karya yang dibuat dari gejala yang terjadi dalam kehidupan. Mereka percaya, harmoni yang dihasilkan bisa membangun harapan soal pentingnya sisi kemanusian.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
Wahyu Kurniawan
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us