Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bertengkar (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi bertengkar (pexels.com/RDNE Stock project)

Intinya sih...

  • Wanita yang terlalu sering mengeluh tanpa alasan jelas, dapat menimbulkan tekanan emosional dan sulit menciptakan suasana positif dalam hubungan.

  • Wanita yang suka mengungkit pemberian atau kebaikan yang telah dilakukan, membuat hubungan terasa tidak setara dan kehilangan rasa hormat.

  • Wanita yang gemar membandingkan pasangannya dengan orang lain, membuat pasangan merasa tidak cukup dan hubungan penuh tekanan karena standar yang tidak realistis.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dalam tradisi pemikiran Islam, para ulama kerap membahas bagaimana seseorang memilih pasangan agar rumah tangga berjalan harmonis. Imam Al-Ghazali menjadi salah satu tokoh yang menekankan pentingnya karakter dalam membangun hubungan yang berkualitas. Menurutnya, pernikahan tidak hanya menggabungkan dua individu, tetapi juga menyatukan nilai, akhlak, dan kesiapan emosional.

Karena itu, ia menguraikan beberapa sifat yang sebaiknya dihindari agar hubungan tetap stabil. Nasihat ini bukan ditujukan untuk mendiskreditkan perempuan, melainkan sebagai refleksi moral bagi siapa pun yang ingin menikah. Lantas, apa saja sifat wanita yang tidak boleh dinikahi menurut Imam Al-Ghazali?

1. Wanita yang terlalu sering mengeluh tanpa alasan jelas

ilustrasi bertengkar (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Sifat ini disebut Al-Anaanah, yaitu kebiasaan mengeluh berlebihan bahkan ketika tidak ada alasan kuat untuk melakukannya. Kebiasaan seperti ini dapat menimbulkan tekanan emosional karena pasangan menjadi terbiasa menghadapi keluhan tanpa solusi. Rumah tangga pun terasa berat sebab suasana positif sulit tercipta secara konsisten. Hubungan yang sehat membutuhkan kemampuan mengelola emosi, bukan memperbesar masalah kecil.

Selain itu, seseorang yang terlalu sering mengeluh biasanya kesulitan melihat hal-hal baik dalam hubungan. Ia cenderung fokus pada kekurangan sehingga sulit menghargai usaha pasangan. Kondisi ini dapat mengikis rasa saling percaya dan membuat kedua pihak kelelahan. Kebiasaan mengeluh tanpa kendali sebaiknya dibenahi agar tidak merusak dinamika hubungan.

2. Wanita yang suka mengungkit pemberian atau kebaikan yang telah dilakukan

ilustrasi bertengkar (pexels.com/RDNE Stock project)

Imam Al-Ghazali menyebut sifat Al-Manaanah sebagai kepribadian yang memberi, tetapi kemudian terus mengungkitnya. Hal ini dapat menjadi sumber konflik karena pemberian berubah menjadi alat tekanan emosional. Pasangan yang berada di posisi ini sering merasa tidak bebas dan terbebani secara psikologis. Ketulusan seharusnya menjadi dasar dalam memberi, bukan permintaan balas budi.

Kebiasaan mengungkit pemberian juga membuat hubungan terasa tidak setara. Seseorang yang melakukannya cenderung menganggap dirinya lebih berjasa dari pasangan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis rasa hormat dan kedekatan emosional. Hubungan yang sehat membutuhkan keikhlasan, bukan kompetisi kebaikan.

3. Wanita yang gemar membandingkan pasangannya dengan orang lain

ilustrasi bertengkar (pexels.com/Timur Weber)

Sifat Al-Hannanah menggambarkan seseorang yang terus menerus membandingkan pasangannya dengan masa lalu, keluarga, atau orang lain. Kebiasaan ini membuat pasangan merasa tidak cukup dan kehilangan kepercayaan diri. Pada akhirnya, hubungan menjadi penuh tekanan karena standar yang diberikan tidak realistis. Setiap pasangan memiliki kelebihan masing-masing yang seharusnya dihargai.

Perbandingan yang terus terjadi biasanya menunjukkan bahwa seseorang belum sepenuhnya menerima pasangannya. Sikap ini membuat hubungan sulit berkembang karena selalu ada ekspektasi yang tidak selesai. Hubungan yang sehat memerlukan apresiasi dan penerimaan, bukan penilaian berlebihan. Dengan menghentikan kebiasaan membandingkan, hubungan menjadi lebih stabil secara emosional.

4. Wanita yang impulsif dan boros dalam pengelolaan keuangan

ilustrasi belanja (pexels.com/Max Fischer)

Sifat Al-Haddaqah merujuk pada kebiasaan berbelanja secara impulsif dan boros. Pola pengeluaran yang tidak terkendali dapat memunculkan masalah finansial yang serius dalam hubungan. Beban ini tidak hanya berdampak pada kestabilan ekonomi, tetapi juga memengaruhi kesejahteraan mental kedua pihak. Keuangan adalah salah satu sumber konflik rumah tangga yang paling umum.

Dalam hubungan jangka panjang, pola boros dapat menghambat perencanaan masa depan. Pasangan yang merasa terbebani akan kesulitan menjalankan kewajiban finansial lainnya. Oleh karena itu, kemampuan mengelola uang dengan bijak menjadi karakter penting dalam pernikahan. Pengeluaran yang terkontrol membantu menciptakan hubungan yang lebih tenang dan aman.

5. Wanita yang terlalu berlebihan dalam berhias atau mudah mencela makanan

ilustrasi bertengkar (pexels.com/Polina Zimmerman)

Imam Al-Ghazali menyebut sifat Al-Barraqah dalam dua makna berbeda. Makna pertama merujuk pada kebiasaan berhias secara berlebihan hingga mengabaikan tanggung jawab lain. Seseorang yang hanya fokus pada penampilan sering kali kehilangan keseimbangan dalam menjalankan perannya. Padahal, pernikahan membutuhkan perhatian yang merata pada banyak aspek kehidupan.

Makna kedua menggambarkan seseorang yang sering mencela makanan. Sikap ini dapat menurunkan kehangatan dalam rumah tangga karena pasangan merasa usahanya tidak dihargai. Kebiasaan mencela juga dapat menimbulkan ketegangan yang tidak perlu. Apresiasi sederhana dapat membuat hubungan jauh lebih harmonis dan penuh syukur.

6. Wanita yang terlalu banyak berbicara negatif atau bergunjing

ilustrasi bertengkar (pexels.com/Timur Weber)

Sifat Al-Shaddaqaah menggambarkan seseorang yang sangat banyak berbicara dalam konteks negatif. Kebiasaan ini menguras energi pasangan karena suasana rumah selalu dipenuhi komentar yang tidak membangun. Komunikasi yang negatif secara terus menerus dapat merusak kepercayaan diri dan kenyamanan dalam hubungan. Pasangan memenuhi kebutuhan emosionalnya melalui kata-kata yang positif, bukan yang menyakitkan.

Seseorang yang gemar bergunjing atau mencela juga cenderung memandang dunia dari sisi negatif. Hal ini dapat terbawa ke dalam interaksi sehari-hari dengan pasangan. Dalam jangka panjang, hubungan dapat kehilangan kehangatan dan rasa aman. Komunikasi yang sehat membutuhkan empati, bukan kritik tanpa batas.

7. Wanita dengan reputasi buruk yang mencerminkan ketidakstabilan perilaku

ilustrasi bertengkar (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Kay'atul-Qafaa merujuk pada sifat seseorang yang memiliki reputasi buruk pada masanya. Dalam konteks modern, sifat ini dapat dimaknai sebagai perilaku yang tidak konsisten dan kurang bertanggung jawab. Reputasi bukan sekadar penilaian orang, tetapi cerminan dari perilaku berulang. Hubungan jangka panjang membutuhkan pasangan dengan integritas dan kedewasaan emosional.

Pasangan yang memiliki stabilitas perilaku lebih mampu menjaga komitmen. Mereka juga lebih mudah diajak bekerja sama dalam membangun masa depan bersama. Memilih pasangan dengan karakter baik dapat menciptakan hubungan yang lebih aman dan saling percaya. Pernikahan akan berjalan lebih kokoh ketika kedua pihak memiliki prinsip hidup yang jelas.

Pandangan Imam Al-Ghazali ini dapat dipahami sebagai nasihat moral agar seseorang memilih pasangan secara bijaksana dan penuh pertimbangan. Meskipun berasal dari konteks lama, esensi utamanya tetap relevan: hubungan yang sehat dibangun oleh karakter yang matang dan komunikasi yang baik. Pada akhirnya, pernikahan adalah kerja sama dua arah yang membutuhkan apresiasi serta rasa saling menghargai setiap saat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team