Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi dua teman sedang berbicara (freepik.com/yanalya)
ilustrasi dua teman sedang berbicara (freepik.com/yanalya)

Intinya sih...

  • Pertemanan kompetitif ditandai dengan pembandingan diri secara terus-menerus

  • Reaksi negatif terhadap keberhasilan teman menandakan persaingan emosional dalam pertemanan

  • Mendominasi pembicaraan dengan cerita tentang diri sendiri mencerminkan sikap kompetitif yang tidak sehat

Hubungan pertemanan seharusnya menjadi ruang yang aman, saling mendukung, dan menghadirkan kenyamanan di tengah kerasnya kehidupan. Dalam pertemanan yang sehat, rasa saling percaya, kerja sama, dan empati menjadi fondasi utama yang menjaga keharmonisan antar individu. Namun, tidak semua hubungan pertemanan berjalan sesuai harapan.

Kompetisi dalam pertemanan tidak selalu mudah dikenali. Sering kali, tanda-tanda kompetitif tersebut terselubung dalam bentuk candaan, pujian yang berbalut sindiran, atau sikap membanding-bandingkan secara terus-menerus. Ketika pertemanan mulai diwarnai dengan keinginan untuk menjadi lebih unggul daripada satu sama lain, hubungan tersebut bisa berubah menjadi ladang rivalitas.

Supaya kamu terhindar dari hal tersebut, yuk simak ketujuh tanda bahwa pertemananmu menjadi kompetitif berlebihan berikut ini. Scroll, yuk!

1. Sering membandingkan diri dengan teman

ilustrasi dua teman sedang berbicara (freepik.com/freepik)

Ketika pertemanan berubah menjadi ajang pembandingan diri secara terus-menerus, hal itu menunjukkan adanya dinamika yang tidak sehat. Salah satu pihak atau bahkan keduanya mulai menjadikan pencapaian masing-masing sebagai tolok ukur nilai pribadi. Perbandingan ini bisa berupa hal-hal kecil seperti gaya berpakaian, jumlah pengikut di media sosial, hingga hal besar seperti promosi pekerjaan atau keberhasilan dalam studi.

Sikap membandingkan ini membuat hubungan menjadi penuh tekanan dan tidak nyaman.
Kebiasaan membandingkan secara konstan dapat menciptakan rasa iri dan rasa rendah diri. Hubungan yang semula tulus dan mendukung mulai terasa kompetitif karena salah satu pihak merasa perlu terus membuktikan diri lebih unggul.

2. Reaksi negatif terhadap keberhasilan teman

ilustrasi dua teman sedang berbicara (freepik.com/freepik)

Dalam pertemanan yang sehat, keberhasilan teman adalah kebahagiaan bersama. Namun, jika muncul rasa tidak nyaman, kecewa, atau bahkan tersinggung setiap kali teman meraih sesuatu, itu menandakan adanya persaingan emosional. Reaksi negatif terhadap pencapaian teman bisa muncul dalam bentuk komentar meremehkan, sindiran halus, atau ketidaktertarikan yang disengaja saat teman membagikan kabar baik.

Reaksi seperti ini mencerminkan adanya perasaan terancam terhadap posisi sosial atau harga diri. Keberhasilan teman dianggap sebagai pengingat terhadap kekurangan diri sendiri. Alih-alih merasa terinspirasi, individu yang terjebak dalam sikap kompetitif malah merasa terganggu. Ketidakmampuan untuk merayakan pencapaian orang lain secara tulus bisa menjadi cerminan dari ketidakpuasan dan ketidakamanan yang belum terselesaikan.

3. Mendominasi pembicaraan dengan cerita tentang diri sendiri

ilustrasi dua teman sedang berbicara (freepik.com/katemangostar)

Salah satu ciri lain dari pertemanan yang kompetitif adalah kecenderungan salah satu pihak untuk selalu mengarahkan pembicaraan ke dirinya sendiri. Dalam situasi seperti ini, setiap topik akan berujung pada pengalaman pribadi yang ingin ditonjolkan, seolah-olah pembicaraan harus menjadi panggung untuk menunjukkan kelebihan diri. Percakapan menjadi satu arah dan tidak ada ruang untuk mendengarkan atau memahami cerita teman.

Sikap mendominasi pembicaraan sering kali disertai dengan keinginan untuk selalu menjadi pusat perhatian. Ketika teman menceritakan sesuatu yang penting baginya, respons yang diberikan malah berisi cerita tandingan yang bertujuan untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat atau lebih berpengalaman. Ketulusan dalam bertukar cerita pun mulai hilang, tergantikan dengan dorongan untuk terus mengungguli secara verbal.

4. Menyembunyikan informasi penting atau kesempatan

ilustrasi dua teman sedang berbicara (freepik.com/senivpetro)

Dalam pertemanan yang kompetitif, tidak jarang seseorang merasa enggan berbagi informasi penting seperti peluang pekerjaan, beasiswa, atau kesempatan berharga lainnya. Ada rasa takut jika teman menjadi lebih sukses atau mendapatkan sesuatu lebih dulu. Akibatnya, informasi yang seharusnya bisa menjadi manfaat bersama justru disembunyikan atau tidak diungkapkan dengan jujur.

Sikap ini mencerminkan rasa tidak aman dan kekhawatiran akan tertinggal. Pertemanan yang sejatinya bisa menjadi tempat tumbuh bersama malah menjadi ruang yang penuh kecemasan. Ketika kepercayaan mulai hilang dan informasi penting ditahan, hubungan akan semakin renggang. Kolaborasi berubah menjadi kompetisi yang penuh dengan rasa curiga dan saling menahan.

5. Meremehkan pilihan atau keputusan teman

ilustrasi dua teman sedang berbicara (freepik.com/katemangostar)

Tanda berikutnya adalah kebiasaan meremehkan pilihan atau keputusan yang dibuat oleh teman. Komentar seperti “Itu bukan pilihan yang bijak” atau “Aku akan melakukannya dengan cara yang lebih baik” menjadi cara halus untuk menunjukkan superioritas. Meski dibungkus sebagai pendapat atau saran, sikap ini mencerminkan keinginan untuk merendahkan dan menunjukkan bahwa pilihan teman kurang tepat.

Sering kali, peremehan ini dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks atau kebutuhan yang berbeda dari tiap individu. Seseorang yang bersikap kompetitif merasa perlu menilai setiap keputusan teman, seolah-olah hanya dirinya yang mampu membuat pilihan terbaik. Hal ini membuat teman merasa tidak dihargai dan kehilangan rasa aman dalam berbagi cerita atau rencana pribadi.

6. Menyimpan kepuasan saat teman mengalami kegagalan

ilustrasi dua teman sedang berbicara (freepik.com/katemangostar)

Dalam pertemanan yang kompetitif, munculnya kegagalan pada teman bisa disambut dengan perasaan lega atau bahkan diam-diam bahagia. Ketika ada kabar buruk tentang kegagalan studi, pekerjaan, atau hubungan pribadi teman, pihak yang kompetitif cenderung merasa senang karena merasa posisinya lebih baik. Hal ini menunjukkan adanya ketidaktulusan dan minimnya empati dalam hubungan.

Perasaan puas atas kegagalan orang lain merupakan bentuk schadenfreude, yaitu kebahagiaan atas penderitaan orang lain. Dalam konteks pertemanan, ini menjadi tanda paling mencolok bahwa relasi telah berubah menjadi tidak sehat. Ketika rasa simpati digantikan dengan kepuasan tersembunyi, hubungan pertemanan kehilangan nilai empatinya dan menjadi hubungan yang penuh kepalsuan. 

7. Merasa terancam saat teman berteman dengan orang baru

ilustrasi dua teman sedang berbicara (freepik.com/freepik)

Persahabatan yang sehat memberi ruang bagi kebebasan sosial masing-masing. Namun, dalam pertemanan yang kompetitif, muncul rasa terancam ketika teman menjalin hubungan dengan orang baru. Ketakutan bahwa posisi dalam pertemanan akan tergeser atau berkurang menjadi dasar munculnya kecemburuan dan sikap posesif. Seseorang yang kompetitif merasa perlu mempertahankan dominasi dalam lingkar sosial.

Sikap ini menunjukkan bahwa pertemanan telah dilihat sebagai wilayah kekuasaan, bukan sebagai ruang tumbuh bersama. Ketika teman dekat mulai memiliki relasi lain, pihak yang kompetitif bisa menjadi sinis, memberi komentar negatif tentang teman baru, atau berusaha memperburuk hubungan tersebut. Hal ini berujung pada dinamika yang tidak sehat dan penuh kecemasan emosional.

Persahabatan seharusnya menjadi tempat untuk tumbuh, bukan ladang untuk berlomba tanpa akhir. Mengutamakan ketulusan dan empati akan membawa pertemanan kembali ke esensinya sebagai tempat berlindung, bukan tempat bersaing.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team