Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pelaksanaan program makan bergizi gratis di SMPN 8 Mataram, Senin (13/1/2025).
Pelaksanaan program makan bergizi gratis di SMPN 8 Mataram, Senin (13/1/2025). (IDN Times/Muhammad Nasir)

Intinya sih...

  • Anggaran pendidikan yang dipangkas untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp223,6 triliun, dinilai melanggar amanat konstitusi.

  • Kebijakan distribusi MBG dinilai tidak berbasis kebutuhan dan efektivitas, melainkan kepentingan politik dan pencitraan

  • Kebijakan pendidikan yang memisahkan berdasarkan kelas sosial, menyebabkan segregasi baru dalam pendidikan nasional.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memberikan catatan khusus di sektor pendidikan selama satu tahun di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Selama satu tahun, kata JPPI, arah pendidikan nasional semakin jauh dari amanat konstitusi.

"Alih-alih memperkuat akses, kualitas dan keadilan pendidikan, kebijakan pemerintah, justru menyeret pendidikan ke jalur populisme politik yang melanggar prinsip konstitusional, mengebiri hak warga negara dan menegaskan ketimpangan sosial," ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam keterangan tertulis, Senin (20/10/2025).

Salah satu yang menjadi sorotan JPPI di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, yakni anggaran pendidikan dipangkas untuk program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG).

"Berdasarkan penghitungan JPPI, anggaran pendidikan tersisa 14 persen dari total APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2026. Padahal, konstitusi dengan tegas mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20 persen," kata Ubaid.

Ini merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 31 UUD 1945 ayat 4. Namun, Ubaid mengingatkan, pemangkasan anggaran pendidikan sudah berlangsung sejak 2025. Padahal, serapan anggarannya tidak maksimal.

"Ironisnya meskipun serapannya buruk (program MBG) bukannya dievaluasi dan dikurangi jatahnya. Pemerintah justru menambah alokasi anggaran MBG berlipat ganda pada APBN 2026. Totalnya Rp335 triliun" tutur Ubaid.

1. Anggaran senilai Rp223,6 triliun diperoleh BGN dari sektor pendidikan

Pemaparan Sri Mulyani ketika rapat bersama Badan Anggaran DPR soal dana anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). (Tangkapan layar YouTube Banggar DPR)

Sebagai informasi, dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI pada 21 Agustus 2025, Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani, memberikan anggaran dari pos pendidikan untuk program MBG mencapai Rp223,6 triliun.

"Alokasi anggaran Rp335 triliun adalah dalam bentuk dikategorikan anggaran pendidikan, karena penerimanya adalah para siswa, sebesar Rp223,6 triliun. Jadi tidak seluruh Rp335 triliun adalah anggaran pendidikan. Hanya penerimanya siswa," ujar Sri seperti dikutip dari YouTube Banggar DPR RI.

Sedangkan, Ubaid menilai, kebijakan distribusi MBG tidak berbasis kebutuhan dan efektivitas. Kebijakan program MBG, kata dia, berbasis kepentingan politik dan pencitraan.

"Ini bukan sekadar salah kelola, tetapi juga pelanggaran konstitusi yang terang-benderang. Pemerintah memotong hak pendidikan anak-anak untuk membiayai proyek politik populis atas nama gizi," kata dia.

JPPI juga menyinggung anggaran 2025 BGN yang banyak tidak terserap, tetapi anggarannya justru ditingkatkan hingga lebih dari tiga kali lipat. Pada 2025, anggaran untuk MBG mencapai Rp71 triliun.

"Ini jelas kebijakan yang tidak berpihak pada anak dan melemahkan sektor pendidikan," kata Ubaid.

2. Kebijakan pendidikan makin jauh dari prinsip inklusif dan berkeadilan

Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar mengunjungi Sekolah Rakyat Menengah Pertama 19 di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (01/10/2025). (IDN Times/IDN Times Dini Suciatiningrum)

JPPI juga menyoroti model pendidikan yang memisahkan berdasarkan kelas sosial. Kebijakan itu diwujudkan lewat program Sekolah Rakyat untuk anak miskin dan Sekolah Garuda untuk kelompok anak unggulan.

"Ini menciptakan segregasi baru dalam pendidikan nasional," kata Ubaid.

JPPI juga menyebut Sekolah Rakyat hanya mampu menampung sekitar 0,3 persen anak putus sekolah, karena faktor ekonomi. Tetapi, itu bukan solusi melainkan simbol kegagalan negara dalam menjamin akses pendidikan bagi semua rakyat.

"Kebijakan ini seolah berpihak pada rakyat kecil. Tetapi sesungguhnya menstigma kemiskinan. Sekolah rakyat hanyalah kosmetik untuk menutupi ketidakmampuan negara dalam menyediakan akses setara bagi semua," katanya.

Di sisi lain, kata Ubaid, Sekolah Garuda akan menjadi menara gading baru bagi anak-anak yang punya keistimewaan.

3. Sebanyak 4,1 juta anak tidak sekolah dan mayoritas akibat faktor ekonomi

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Catatan lain dari JPPI yakni pemerintahan Prabowo-Gibran belum melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024, yang memerintahkan implementasi pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Baik itu untuk menempuh pendidikan di sekolah swasta atau sekolah negeri.

"Saat ini masih ada 4,1 juta anak tidak sekolah, dan mayoritas dikarenakan faktor ekonomi," kata Ubaid.

Sikap abai itu, kata Ubaid, menunjukkan pemerintah lebih sibuk membangun pencitraan ketimbang menjalankan mandat konstitusi untuk menjamin hak dasar pendidikan.

"Empat juta lebih anak Indonesia hari ini tidak sekolah karena negara gagal menunaikan kewajibannya. Pemerintah boleh bicara makan gratis, tapi kalau anaknya tidak sekolah, itu artinya negara sedang memberi makan kebodohan," tutur dia.

Editorial Team