Jakarta, IDN Times - Pendamping korban dari Women Crisis Centre Jombang, Ana Abdillah, mengaku masih banyak mendapatkan hambatan struktual penyelenggaraan layanan legal aborsi bagi korban pemerkosaan.
Ana menjelaskan, banyak regulasi-regulasi yang menjadi celah argumentasi bagi struktur hukum yang tidak punya perspektif terhadap korban.
"Mungkin ke depan UU kesehatan kita bisa lebih manusiawi, ya, kita harus mendengarkan suara-suara di masyarakat bahwa aborsi aman itu adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari upaya memberikan layanan yang komprehensif untuk korban," kata dia dalam Webinar: Perempuan Korban Kekerasan Seksual di Pusaran RUU Kesehatan yang diselenggarakan Yayasan IPAS Indonesia, Senin (22/5/2023).
Padahal, dalam UU Kesehatan telah diatur pada Pasal 76 yang menyatakan aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 minggu. Hal itu kemudian diperbaharui dalam Pasal 463 Ayat 2 KUHP Baru menjadi 14 minggu atau saat memiliki indikasi kedaruratan medis, bagi korban tindak pemerkosaan atau tidak pidana kekerasan seksual.