Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-08-28 at 15.52.25 (1).jpeg
Demo di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat berujung ricuh pada Kamis (28/8/2025) sore. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Sebagian besar korban ditahan di berbagai kantor kepolisian

  • Ratusan orang menjadi korban tindak kekerasan aparat

  • Polri telah turunkan polisi siber untuk awasi ruang digital

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sekitar 616 orang diperkirakan menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam aksi demonstrasi besar-besaran pada periode akhir Agustus hingga 8 September 2025. Data itu disampaikan oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) dalam rilis yang dikutip pada Selasa (9/9/2025).

TAUD membuka hotline pengaduan terhadap pelanggaran HAM sejak aksi 25 Agustus 2025 hingga September lalu dan memperoleh data-data tersebut.

"Mekanisme ini dibentuk dalam rangka mendokumentasikan sekaligus mendampingi kasus-kasus kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang," ujar TAUD.

Sejak hotline dibuka, TAUD menerima 369 aduan melalui platform WhatsApp. Sebagian laporan datang dari korban langsung. Tetapi, laporan lebih banyak disampaikan oleh keluarga atau kerabat korban.

"Dari laporan itu, TAUD memperkirakan terdapat sekitar 616 korban. Terdiri dari 285 laki-laki, 8 perempuan dan 323 lainnya belum dapat diidentifikasi," kata mereka.

Dari angka 616 korban, 399 korban berusia di bawah 18 tahun. Bahkan, sebagian di antaranya masih berstatus pelajar sekolah.

"Dari jumlah itu, 382 anak pernah ditahan. 331 di antaranya telah dibebaskan. Sementara, 5 anak masih ditahan dan 59 lainnya masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut," tutur TAUD.

1. Sebagian besar korban ditahan di berbagai kantor kepolisian

Ilustrasi borgol. (IDN Times/Mardya Shakti)

Lebih lanjut, di dalam laporan itu, TAUD menyebut sebagian besar korban ditahan di berbagai kantor kepolisian. Mulai dari Polda Metro Jaya, sejumlah polres di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi hingga beberapa kantor polsek.

"Banyaknya aduan ini tidak lepas dari besarnya jumlah penangkapan. Sementara, para korban ditahan secara tersebar di sejumlah kantor kepolisian," ujar Eno Liska dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang tergabung di dalam TAUD.

Menurut Eno, keluarga korban mengaku kebingungan mencari anak atau kerabatnya ketika hilang. Bahkan, ada yang harus berkeliling dari satu polsek ke polsek lainnya hingga Polda Metro Jaya karena tidak mendapatkan informasi yang jelas dari pihak kepolisian.

2. Ratusan orang menjadi korban tindak kekerasan aparat

Sekelompok mahasiswa yang sudah siap menuju ke Gedung DPR Senayan, Jakarta Pusat dipukul mundur oleh personel Polri pada Kamis (28/8/2025). (IDN Times/Santi Dewi)

Dari laporan TAUD juga terungkap ratusan individu yang menjadi korban pelanggaran HAM, sebagian mengalami tindak kekerasan dari aparat kepolisian. Selain itu, ada pula yang menjadi korban penyitaan barang pribadi tanpa izin pengadilan seperti telepon genggam dan dompet.

"Aparat juga melakukan penangkapan sewenang-wenang dan menghalangi keluarga untuk bertemu dengan korban. Masa penahanan berlangsung lebih dari 1X24 jam dan proses hukum yang tidak transparan," kata TAUD.

3. Polri telah turunkan polisi siber untuk awasi ruang digital

ilustrasi mengecek sebuah akun media sosial (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Sementara, TAUD memprediksi aktivitas penangkapan sewenang-wenang masih akan terus terjadi. Sebab, pihak kepolisian telah menurunkan polisi siber untuk mengawasi ruang digital dan mencari provokator dari aksi unjuk rasa yang masih berlangsung. Bahkan, polisi siber bersama Kementerian Komunikasi dan Digital telah menyisir dan memblokir 592 akun media sosial.

Akun-akun itu diblokir karena dianggap telah menyebarkan narasi provokasi dan penghasutan. TAUD menilai ukuran hasutan sangat subyektif sehingga berpotensi besar menimbulkan kesewenang-wenangan dalam penilaian.

"Pemblokiran yang merupakan bentuk upaya paksa ini juga tidak dilakukan dengan dasar yang jelas sehingga prosesnya tidak transparan dan akuntabel karena tidak dapat diujui apakah prosesnya proporsional, sesuai kebutuhan dan non-diskriminatif," kata TAUD.

Sikap yang tidak transparan, ujar TAUD, tidak hanya ditunjukkan oleh negara. Sikap serupa juga disampaikan oleh perusahaan media sosial.

"Perusahaan media sosial tidak mengungkap ke publik secara detail akun apa saja yang diminta oleh pemerintah agar diblokir dan apa alasan di balik itu semua," tutur TAUD.

Editorial Team