Jakarta, IDN Times - Ahli keamanan siber Alfons Tanujaya meminta pemerintah tidak menganggap enteng insiden bocornya 1,3 juta data pengguna aplikasi Electronic Health Alert Card (e-HAC). Sebab, bila data tersebut jatuh ke tangan pihak yang memiliki niat jahat, maka mereka bisa mengubah data hasil tes COVID-19 yang diunggah di aplikasi tersebut.
"Misalnya pihak tertentu itu iseng dan mengubah hasil tes COVID-19, seharusnya ia dinyatakan positif COVID-19 tetapi karena datanya bocor lalu diubah dan dinyatakan negatif COVID-19. Kan, orang ini bisa tetap berkeliaran, matilah kita," ungkap Alfons ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Selasa malam, 31 Agustus 2021.
"Sebaliknya, kalau orang yang sebenarnya hasil tes COVID-19 negatif tetapi dinyatakan positif, maka dia kasihan. Aktivitasnya jadi terbatas dan gak bisa ke mana-mana," tuturnya.
Apa yang disampaikan oleh Alfons bukan sekadar isapan jempol belaka. Sebab, tim peneliti vpnMentor, Noam Rotem dan Ran Locar pada 15 Juli 2021 lalu melaporkan berbagai jenis data pengguna yang terekspos ke luar. Selain identitas pengguna, di dalam data yang bocor itu juga terdapat hasil tes COVID-19 dan lokasi tes tersebut dilakukan.
Ia juga mewanti-wanti pemerintah, meski publik tak lagi menggunakan aplikasi e-HAC lama dan beralih ke aplikasi yang baru, tak menutup fakta jutaan data telah bocor.
"Padahal, bila data di aplikasi e-HAC lama bocor ya tetap bocor tidak mengbah fakta bahwa ada kebocoran data. Yang jadi korban tetap si pemilik data," kata pendiri perusahaan teknologi dan informasi bernama Vaksincom itu.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah agar peristiwa kebocoran data serupa tidak kembali terulang?