Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekerasan anak
Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Intinya sih...

  • Peleburan Dinas Perempuan dan Anak ke Dinas Sosial di NTB dinilai memperlemah penanganan kasus, karena harus berbagi sumber daya dengan urusan kemiskinan, bencana, dan disabilitas.

  • Aliansi Perempuan dan Anak NTB telah melakukan berbagai upaya untuk menolak kebijakan ini, namun pemerintah cenderung menutup diri hingga diungkap ada inisiatif pribadi yang tak dapat ditentang.

  • Angka perkawinan anak di NTB meningkat dari 16,23 persen pada 2022 menjadi 17,32 persen pada 2023. Kondisi ini jauh dari rata-rata nasional yang menurun menjadi 6,92 persen, dengan 1.022 kasus kekerasan pada perempuan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Di tengah meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB), pemerintah provinsi justru disebut bakal melebur Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) ke dalam Dinas Sosial.

Keputusan tersebut pun menuai kritik tajam dari jaringan aktivis perempuan, termasuk Sekolah Perempuan Lombok dan mitra organisasi Kapal Perempuan.

Menurut Tulu'ul Fajriani perwakilan mitra Kapal Perempuan di Lombok, alasan peleburan disebut untuk efisiensi anggaran. Namun, langkah ini dinilai mengabaikan urgensi perlindungan perempuan di wilayah yang mencatat angka kekerasan terhadap anak tertinggi secara nasional.

"Ada beberapa yang kami ukur bahwa jika risiko peleburan ini akan dilakukan, maka akan mengkhawatirkan bahwa fokus penanganan pendampingan itu akan tergerus," kata dia dalam diskusi dengan media secara daring, dikutip Senin (14/10/2025).

1. Memperlemah penanganan kasus

Affie Edukids, Daycare dan Sekolah Anak Homey di Bandar Lampung (Instagram/affieedukids)

Fajriani menilai penggabungan tersebut akan memperlemah penanganan kasus, karena fungsi perlindungan korban kini harus berbagi sumber daya dengan urusan kemiskinan, bencana, dan disabilitas.

"Karena kita tahu bahwa bagaimana dengan sosial sendiri, itu juga sangat berat dan banyak urutan yang mereka harus terus. Misalnya penanganan bencana, kemiskinan, juga termasuk disabilitas," ujarnya.

2. Berbagai upaya untuk menolak kebijakan ini

Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Aliansi Perempuan dan Anak NTB telah melakukan berbagai upaya untuk menolak kebijakan ini, mulai dari audiensi dengan gubernur, unjuk rasa ke DPRD, hingga kampanye melalui media. Namun, respons pemerintah cenderung menutup diri hingga diungkap ada inisiatif pribadi dan tak dapat ditentang.

"Jadi kalau melihat kondisi bagaimana pendampingan kasus teman-teman yang dilakukan oleh Sekolah Perempuan, setiap kasus yang dirujuk di beberapa kabupaten, dirujuk UPTDPPA, ini juga cukup lemah ya di dalam penanganan," katanya.

3. Angka perkawinan anak di NTB tinggi

Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. (IDN Times/Nathan Manaloe)

Melansir dari Antaranews, angka perkawinan anak di NTB meningkat dari 16,23 persen pada 2022, menjadi 17,32 persen pada 2023. Kondisi tersebut jauh dari rata-rata nasional yang menurun menjadi 6,92 persen.

Kemudian, pada 2022 ada 1.022 kasus kekerasan pada perempuan dan anak, dengan 672 kasus melibatkan anak-anak.

Editorial Team