Demo buruh dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) di Patung Kuda, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Lebih lanjut, Sunarno mengungkapkan penyebab kaum buruh dan rakyat sulit memiliki rumah utamanya adalah karena biaya hidup yang tinggi, namun upahnya yang rendah sehingga tidak mampu membeli rumah.
Di samping itu, saat ini tidak ada kepastian terhadap pekerjaan (status kerja kontrak/outsourcing/mitra/freelancer) yang menjadi salah satu hal tersulit dalam mengajukan Kredit Pembiayaan Rumah (KPR).
"Selain itu kaum buruh dan rakyat setiap hari dan setiap bulannya pun sudah memikul beban-beban yang begitu berat seperti membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan (2 persen) dan kesehatan (1 persen), pajak penghasilan PPH 21 sebesar 5 sampai 10 persen dari PTKP, dan pajak-pajak lainnya dari barang atau jasa yang wajib ditanggung kaum buruh dan rakyat," imbuhnya.
Artinya penambahan agenda Tapera justru semakin memperdalam penderitaan rakyat karena pemaksaan yang dilakukan dan besaran iuran yang wajib dibayarkan.
Selain itu, agenda Tapera sendiri justru menimbulkan tumpang tindih kebijakan dengan program yang sudah berjalan, seperti BPJS Ketenagakerjaan tentang Perumahan Pekerja/Buruh. Serta program-program lainnya yang ada di setiap Pemerintah Provinsi, Kota dan Daerah tentang perumahan rakyat.
"Selain itu proses pengadaan tanah atau pembukaan lahan yang menggusur dan merampas hak-hak masyarakat kecil, akan berpotensi menimbulkan konflik baru di sektor Agraria serta berdampak luas pada lingkungan hidup dan kerusakan ekologis," tandas Sunarno.