Jakarta, IDN Times - Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid mengatakan sikap Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal pemerkosaan massal pada Mei 1998 betul terjadi karena diduga ikut merasa malu peristiwa itu pernah ada. Selain itu, pemerintahan Prabowo Subianto diduga tidak merasa nyaman karena rekam jejak masa lalu.
Lagipula, peristiwa kerusuhan pada Mei 1998 sudah tak bisa lagi dibantah lantaran bukti dokumentasi menumpuk. Usman pun menduga Fadli sengaja menyangkal peristiwa pemerkosaan massal agar nama sejumlah individu yang tertulis di laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tidak diproses hukum.
"Pernyataan Menteri tersebut juga bisa dihubungkan dengan rekomendasi TGPF, tepatnya rekomendasi nomor 2. Isinya pemerintah perlu sesegera mungkin menindak lanjuti kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindak kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang dapat diungkap secara yuridis," ujar Usman seperti dikutip dari YouTube Koalisi Perempuan Indonesia pada Sabtu (14/6/2025).
Tindak lanjut itu, kata Usman, berupa proses hukum terhadap warga sipil maupun militer. Selain itu, TGPF meminta pemerintah untuk mempercepat proses yudisial yang sedang berjalan.
"Dalam rangkaian ini, Pangkoops Jaya, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin perlu dimintakan pertanggung jawabannya. Dalam kasus penculikan yang terjadi pada Mei, Letjen Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke pengadilan militer. Demikian juga dalam kasus (penembakan) Trisakti perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang sungguh-sungguh untuk mengungkap penembakan mahasiswa," tutur dia.
Usman pun menyadari dua nama yang disebut di dalam laporan TGPF kini sudah menjadi pejabat yang lebih tinggi. Sjafrie kini menduduki posisi Menteri Pertahanan, sedangkan Prabowo adalah Presiden ke-8.
"Padahal, mereka seharusnya dimintai pertanggungjawaban berdasarkan rekomendasi TGPF," imbuhnya.