Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Koalisi Perempuan Tuntut Fadli Zon Minta Maaf soal Peristiwa Perkosaan 1998

Tangkapan layar YouTube IDN Times
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon ketika berbincang di program 'Real Talk' with Uni Lubis by IDN Times. (Tangkapan layar YouTube IDN Times)
Intinya sih...
  • Peristiwa pemerkosaan massal ditulis di buku sejarah Indonesia jilid VI
  • Pemerintah tak pernah periksa temuan TPF di ruang pengadilan

Jakarta, IDN Times - Koalisi Perempuan Indonesia menuntut permintaan maaf dari Menteri Kebudayaan, Fadli Zon lantaran membantah pernah terjadi peristiwa perkosaan massal pada Mei 1998. Menurut mereka, pernyataan menteri dari Partai Gerindra itu mengingkari fakta sejarah dan keputusan mantan Presiden BJ Habibie Nomor 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komnas Perempuan.

Salah satu anggota Koalisi Perempuan Indonesia, Ita Fatia Nadia, merupakan salah satu anggota tim relawan kemanusiaan pada Mei 1998. Ia menunjukkan foto berisi 11 perempuan, termasuk Saparinah Sadli yang menemui Habibie. Mereka menyerahkan data, dokumen dan fakta yang terjadi pada Mei 1998.

"Presiden Habibie ketika itu mengatakan percaya dan menerima bahwa telah terjadi perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998. Ia bertanya kepada kami, 'apa yang harus saya lakukan?'" ujar Ita menirukan Habibie kala itu dalam diskusi virtual, Jumat (13/6/2025).

Saparinah kemudian meminta agar dibentuk satu komisi yang melindungi perempuan dari tindak kekerasan. Itulah awal mula dibentuknya Komisi Nasional Perempuan.

"Jadi, apa yang disampaikan oleh Menteri Fadli Zon adalah sebuah dusta! Sebagai pejabat publik, seharusnya menumbuhkan dan menyemai satu bangunan untuk recalling memory untuk reparasi bagi mereka yang jadi korban," kata dia.

1. Peristiwa pemerkosaan massal ditulis di buku sejarah Indonesia jilid VI

Screenshot_20250613_172722_YouTube.jpg
Bukti dan dokumentasi yang ditunjukkan soal peristiwa pemerkosaan massal 1998. (Tangkapan layar YouTube Koalisi Perempuan Indonesia)

Ita memaparkan bukti lainnya, peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998 bukan kebohongan. Peristiwa itu ditulis di dalam buku sejarah Indonesia jilid VI halaman 609.

"Di situ tertulis, 'pada pergolakan politik Mei 1998,' terjadi perkosaan massal terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa di Jakarta, Palembang, Medan, Surabaya dan Solo. Itu dituliskan dengan sangat rinci oleh tim gabungan pencari fakta," kata Ita.

Selain itu, pada Januari 2023 lalu, pemerintahan Presiden ke-7 Joko "Jokowi" Widodo telah menetapkan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat. Peristiwa itu ditetapkan berdasarkan rekomendasi dari tim PPHAM. Ke-12 pelanggaran HAM berat yang diakui oleh pemerintah saat itu, yakni Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Ita mengatakan, Fadli Zon selaku pejabat publik malah menyangkal peristiwa perkosaan yang terjadi pada Mei 1998.

"Menteri Fadli Zon ini telah berbohong dan berdusta kepada publik. Kami menuntut beliau untuk menyatakan permintaan maaf kepada korban karena korban merasa tertekan," kata dia.

2. Pemerintah tak pernah periksa temuan TPF di ruang pengadilan

Direktur Eksekutif Amnesty International (AI) Indonesia, Usman Hamid. (Dokumentasi Istimewa)
Direktur Eksekutif Amnesty International (AI) Indonesia, Usman Hamid. (Dokumentasi Istimewa)

Sementara, Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, mengatakan, penyebab peristiwa pemerkosaan massal 1998 tak pernah terbukti di muka hukum karena pemerintah tidak pernah memeriksa dan mengajukannya ke pengadilan.

"Persoalannya adalah apakah pemerintah pernah membentuk pengadilan? Faktanya, itu tidak pernah dibentuk. Jadi, seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah membentuk terlebih dahulu pengadilan HAM misalnya atau pengadilan apa pun untuk memeriksa keseluruhan laporan dan bukti-bukti yang terkait perkosaan massal," kata Usman.

Ia menilai, apabila Menteri Fadli Zon menyampaikan pandangannya bukan dari sumber resmi, maka sama saja dengan menyampaikan pernyataan kosong.

"Itu sama seperti Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, usai dilantik di kabinet menyangkal ada pelanggaran HAM berat di peristiwa Mei 1998," kata dia.

Padahal, Komnas HAM pernah melakukan penyelidikan untuk tiga peristiwa besar yakni penembakan mahasiswa di berbagai kampus; kerusuhan pada 13-15 Mei 1998 dan rangkaian penculikan serta penghilangan paksa sepanjang kerusuhan Mei 1998. Ketiga peristiwa ini disimpulkan oleh Komnas HAM ketika itu sebagai pelanggaran HAM berat.

3. Fadli Zon ragukan perkosaan massal 1998 karena minim bukti

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)

Polemik pernyataan Fadli Zon itu bermula ketika diwawancarai oleh pemimpin redaksi IDN Times, Uni Lubis di program 'Real Talk.' Ketika ditanya, soal perkosaan massal pada Mei 1998, Fadli mengatakan peristiwa 27 tahun lalu itu masih bisa diperdebatkan. Termasuk informasi mengenai adanya tindakan pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis China.

Menurut Fadli, selama ini tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.

"Kalau itu menjadi domain kepada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kami gak pernah tahu, ada gak fakta keras? Kalau itu kita bisa berdebat. Nah, ada perkosaan massal. Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu gak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada (bukti), tunjukkan. Ada gak di dalam buku sejarah itu? Gak pernah ada!" ujar Fadli di program yang tayang di YouTube IDN Times itu.

Uni kemudian menyebut tim gabungan pencari fakta pernah memberikan keterangan soal peristiwa pemerkosaan massal benar-benar terjadi pada Mei 1998. Namun, Fadli mengaku pernah membantah temuan TGPF itu.

"Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu," kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us