Tragedi GGPA, Pemerintah Kemana?
Pemerintah baru mengucurkan bantuan tahun ini
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Setelah hampir dua tahun mencari keadilan dan pertanggungjawaban, akhirnya 312 korban gagal ginjal akut anak (GGPA) akibat obat sirop cair mendapat perhatian dari pemerintah. Untuk pertama kalinya pemerintah mengucurkan santunan untuk korban dengan total Rp16,5 miliar.
Pemberian santunan pada korban yang masih dirawat dan meninggal dunia di Kantor Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI pada Rabu, 10 Januari 2024, diiringi suasana haru dan isak tangis keluarga. Bahkan, saat IDN Times, memasuki ruangan, sebagian balita yang merupakan korban obat sirop masih memakai selang nasogastrik, atau selang makanan yang terhubung ke hidung.
Resti Safitri, salah satu orang tua korban obat sirop penurun panas produksi PT Afifarma ini berlari mengejar Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin dan Menteri (Menko PMK), Muhadjir Effendy, yang meninggalkan kantor Kemenko PMK usai memberikan keterangan pers.
Resti menangis saat menceritakan keadaan anaknya yang berusia 2,5 tahun, Rayvan Aji Pratama, yang divonis buta hingga menderita cerebral palsy, setelah menjadi korban keracunan obat parasetamol sirop pada 2022.
Dia menuntut pertanggungjawaban penuh dari pemerintah yang dinilai gagal melakukan pengawasan, sehingga obat yang mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikel (DEG) dalam obat sirop yang memicu gagal ginjal pada anak ini bisa beredar.
Memang, Resti mengatakan untuk perawatan Rayvan ditanggung BPJS Kesehatan, namun masih banyak item yang tidak ditanggung. Bahkan, alat bantu nafas pun susah didapatkan. Dia juga harus menanggung biaya transportasi yang setiap dua minggu sekali harus memeriksakan putranya ke Rumah Sakit Citpo Mangunkusumo (RSCM).
“Alat bantu nafas di rumah sakit selalu kosong, bahkan saya disuruh nyari sendiri ke distributor. Belum lagi, harus bolak-balik ke rumah sakit, itu juga harus pakai mobil, karena tidak bisa memakai ambulans,” keluhnya, pada Menkes.
Sementara, Budi mengatakan, pihaknya akan segera menindaklanjuti laporan tersebut. Dia meminta asisten pribadinya untuk mencatat dan memberikan nomor telepon.
“Nanti saya koordinasikan, ya,” kata Budi.
Baca Juga: Menkes: Bantuan Faskes sampai Transportasi bagi Korban GGPA
1. Derita korban obat sirop berawal dari resep dokter
Semua biaya perawatan anaknya, termasuk transportasi, sebenarnya sudah berkali-kali disuarakan Resti, dan dilaporkan kepada pemerintah, namun tak kunjung ada realisasinya.
“Tidak pernah, ini bantuan saja baru hari ini diberikan,” ungkap Resti, kepada IDN Times, seraya menunduk putra pertamanya yang terbaring di kereta bayi warna biru.
Kedua bola mata perempuan 28 tahun itu mulai berkaca-kaca, hingga akhirnya tak kuasa menitikkan air matanya.
“Dia anak pertama, harapanku tinggi banget, cita-cita dia, saya gak tahu apakah dia bisa wujudkan cita-citanya dengan kondisinya seperti ini,” ujar Resti, dengan suara tercekat.
Resti menganggap sirop yang diminum putranya bukan obat, tetapi racun yang meredupkan cahaya sang buah hatinya. Namun, dia bersyukur Revan lolos dari maut setelah terbaring 2,5 bulan di rumah sakit.
“Dulu Revan anaknya aktif, bahkan saat itu dia usia sembilan bulan baru mau jalan, tetapi harapan itu hilang,” ucap dia.
Petaka bermula saat Revan mengalami demam tinggi pada awal Mei 2022. Resti membawa buah hatinya yang saat itu berusia sembilan bulan ke RSUD di Bekasi. Saat itu, dokter meresepkan paracetamol buatan PT Afi Farma. Demam Revan tidak kunjung membaik, sebaliknya semakin tinggi. Revan akhirnya dirawat di RSUD.
“Saat di RSUD itu tidak ada perbaikan, saya ke (pindah) rumah sakit swasta, baru satu hari, badannya membengkak, kemudian Revan dirujuk ke RSCM hingga akhirnya divonis gagal ginjal dan harus berada di ruangan PICU selama 45 hari,” katanya.
Resti berharap industri farmasi juga harus bertanggungjawab, karena memproduksi obat sirop yang memicu gagal ginjal anaknya. Sampai saat ini, baik dari Kemenkes, Kemensos, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan industri belum pernah datang melihat langsung kondisi Revan.
“Gak ada, bantuan selama ini dari pemerintah atau dari mana pun, bahkan Kemensos yang mendata, saya sudah bilang datang ke rumah nengok, lihat kondisi anak saya, tetapi hanya data lewat RT. Pemerintah, BPOM, atau Afifarma tak pernah beri bantuan selama ini, apalagi lihat kondisi Revan,” ujarnya, menangis sesenggukan.