Epidemiolog UI: Sistem Zonasi COVID-19 Rentan Direkayasa
"Gunanya apa sih diberi zona seperti itu?"
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Juru wabah dari Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat UI, Dr. Pandu Riono mempertanyakan fungsi pemberlakuan zonasi untuk menandakan situasi suatu daerah di tengah pandemik COVID-19. Pandu menilai statistik yang setiap hari dipampangkan oleh Kementerian Kesehatatan lalu dijadikan acuan untuk menandai area tertentu dengan zona berwarna tidak tepat. Sebab, tidak semua orang yang terpapar COVID-19 berasal dari wilayah itu.
Contohnya ketika seseorang terkena COVID-19 di wilayah A, sementara ia tinggal di wilayah B maka kasusnya seharusnya tercatat di wilayah B, tempatnya sehari-hari tinggal.
"Gugus tugas itu membuat zona kuning, hijau, merah itu berdasarkan statistik yang tidak akurat, kalau statistiknya tidak akurat (pemberlakuan) zonanya menjadi tidak akurat. Gunanya apa sih zona itu? " tanya Pandu dalam program "Ngobrol Seru" by IDN Times dengan tajuk "100 Hari Pandemik Global: Workshop Meliput COVID-19 yang tayang secara daring pada Sabtu (20/6).
Lalu, apa dampak negatif bila pemerintah tetap memberlakukan sistem zonasi untuk mengatasi pandemik COVID-19?
Baca Juga: Juru Wabah UI: RI Belum Masuki Puncak Gelombang Pertama COVID-19
1. Zonasi malah memberi stigma pada suatu wilayah
Pandu mengatakan penggunaan zona di sebuah wilayah malah memberi stigma pada area tersebut. Ia mengatakan penyematan zona ini malah bisa merembet ke sisi politik. Apalagi penyelenggaraan pilkada serentak tetap dilakukan pada tahun 2020.
"Karena saya (pemimpin seorang wilayah) harus ikut Pilkada tahun ini, saya larang tes di wilayah saya," ujarnya.
Dengan demikian, maka seolah-olah daerahnya masuk zona hijau karena tanpa tes yang diketahui terpapar COVID-19 berjumlah sedikit.
Baca Juga: Menparekraf Tinjau Bali, Pastikan Persiapan Pembukaan Pariwisata