TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tantangan Implementasi Aturan Kasus KDRT: Beda Penafsiran Aparat Hukum

Kasus kekerasan tertinggi 2022 ada di DKI Jakarta

Ilustrasi kasus pelecehan seksual (IDN Times)

Jakarta, IDN Times - Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan (FLP) Siti Mazumah mengungkapkan penafsiran Pasal 44 ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) berbeda-beda oleh aparat penegak hukum.

“Menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda antara satu aparat penegak hukum dengan aparat penegak hukum yang lain," kata  dia dalam Seminar Nasional Forum Pengada Layanan 2024 secara daring dikutip Selasa (30/4/2024).

1. Perkawinan tidak tercatat secara resmi di lembaga agama atau catatan sipil

Ilustrasi Gedung Pernikahan di Kota Jogja (unsplash.com/@cinematicimagery)

Masalah lainnya adalah sulitnya mengimplementasikan UU PKDRT pada perkawinan yang tidak tercatat secara resmi di lembaga seperti Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil. 

"Ketika menikah secara adat atau ketika menikah secara agama dan terjadi KDRT, apakah kemudian dapat menggunakan UU PKDRT atau menggunakan Pasal 351 KUHP untuk penganiayaan," kata dia.

Baca Juga: Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan, Kerap Tak Dianggap di UU PKDRT

2. Kasus kekerasan tertinggi 2022 ada di DKI Jakarta

ilustrasi penganiayaan perempuan (IDN Times/Sukma Shakti)

Data dari FLP menunjukkan DKI Jakarta menjadi provinsi dengan kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi pada tahun 2022 yakni 1.528 kasus diikuti oleh Jawa Tengah 456, Nusa Tenggara Timur 291, dan D.I. Yogyakarta 193 kasus. 

Baca Juga: Imigrasi Pulangkan DPO Pelaku KDRT Istri yang Kabur ke China

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya