Menteri Kesehatan Masih Santai Menanggapi Peredaran Vaksin Palsu
Lalu apa solusi pemerintah?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Praktik penjualan vaksin tanpa resep dokter di apotek rakyat seharusnya mendapat sorotan dari Kementerian Kesehatan. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta.
Dilansir Kompas.com, (27/6), peraturan tersebut mengacu pada Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomer 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Faktanya, pembinaan dan pengawasannya hingga saat ini masih sangat lemah. Penemuan vaksin palsu di sejumlah apotek rakyat di Jakarta Timur oleh kepolisian, adalah bukti nyata lemahnya pengawasan tersebut. Penemuan tersebut kemudian dikembangkan aparat sehingga tertangkapnya 10 pelaku di Jabodetabek atas dugaan terlibat jaringan pemalsu beragam vaksin dasar untuk bayi, termasuk campak, polio, hepatitis B, tetanus, dan BCG (Bacille Calmette-Guerin).
Baca Juga: Didemo Warga, Ahok Berkomentar "Emangnya Negara Diatur Massa?"
Jumlah vaksin palsu yang ditemukan cukup besar.
Kementerian Kesehatan tidak membantah bahwa vaksin bisa dibeli di apotek rakyat. Terkait kontrol dan pengawasan, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Oscar Primadi merujuk Badan Pengawas Obat dan Makanan. Badan pengawasan itu sendiri mengaku telah menelusuri pemalsuan vaksin, namun jumlahnya tidak sebesar yang ditemukan kepolisian.
Peredaran vaksin palsu ini sebetulnya sudah terdeteksi pada 2014. Namun, waktu itu jumlahnya masih kecil. Berdasarkan keterangan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar, dari 10 orang yang ditahan, lima orang di antara mereka diduga sebagai produsen, dua orang kurir, dua orang penjual atau distributor dan seorang pencetak label. Pemalsuan ini sudah berlangsung sejak 2003 dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Keuntungan yang didapat dari praktik itu mencapai 25 juta rupiah per minggunya.
Baca Juga: Ini 11 Fakta Mengerikan Mengenai Virus Zika yang Meresahkan Dunia