TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Film Dirty Vote Kritisi Pemekaran Provinsi dan Penunjukan Penjabat

Hanya SBY tercatat dalam sejarah menang satu putaran

Akademisi dari Universitas Andalas, Feri Amsari (Dokumentasi Watch Doc)

Jakarta, IDN Times - Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatra Barat, Feri Amsari menegaskan sangat sulit bagi pasangan capres-cawapres menang satu putaran pada Pemilu 2024. Sebab, syarat yang tertulis dalam UUD 1945 tidak hanya cukup meraih 50 plus 1 persen suara.

Masing-masing paslon juga harus memenangkan sebaran wilayah di minimal 20 provinsi. Itu pun di masing-masing provinsi harus mendapatkan minimal 20 persen suara. Hal itu disampaikan Feri secara gamblang dalam film dokumenter berjudul Dirty Vote.

"Jadi, tidak mudah bagi seorang calon presiden untuk memenangkan suara dalam satu putaran pemilu. 50 persen suara bukan faktor tunggal," ujar Feri dalam film dokumenter itu yang dikutip, Senin (12/2/2024). 

Ia menyebut satu-satu presiden Indonesia yang tercatat dalam sejarah berhasil memenangkan pemilu satu putaran hanya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pemilu 2009. Ketika itu, SBY yang berpasangan dengan Boediono berhasil meraup 60,8 persen suara dan berhasil unggul di 28 provinsi. 

Sedangkan, seterunya paslon Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto hanya meraih 26,8 persen suara. Mereka pun hanya unggul di satu provinsi. Paslon nomor urut tiga yakni Jusuf "JK" Kalla-Wiranto hanya meraih 12,4 persen suara dan unggul di empat provinsi. 

Ia kemudian menyinggung situasi pada Pemilu 2019. Ketika itu, Jokowi-Ma'ruf Amin berhasil unggul yakni 55,50 persen, tetapi mereka hanya unggul di empat provinsi. Sedangkan, pasangan Prabowo-Sandiaga meraih 44,50 persen suara dan unggul di enam provinsi.

"Logika mengatakan bila kedua pihak ini bergabung, maka dengan sendirinya pasangan Prabowo-Gibran akan sangat mendominasi di Pulau Sumatra. Sayangnya, pertarungan tidak sesederhana itu," kata dia. 

Baca Juga: Film Dokumenter Dirty Vote, Bey Machmudin: Buktikan Jika Tak Netral  

1. Pemekaran empat provinsi di Papua

Akademisi Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, Feri Amsari ketika memberikan penjelasan soal satu putaran. (Tangkapan layar YouTube PSHK)

Lebih lanjut, Feri mengatakan berdasarkan hasil survei yang dirilis Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pertengahan Desember 2023, elektabilitas paslon nomor urut dua baru berada di angka 36,5 persen di Pulau Sumatra. Artinya, Prabowo-GIbran baru menguasai sepertiga suara di Pulau Sumatra.

Namun, paslon nomor urut dua tersebut diprediksi terbantu dengan kebijakan baru, yakni memekarkan sejumlah provinsi di Papua. Sebelumnya, di Bumi Cendrawasih hanya ada dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat.

Tetapi, tiba-tiba pemerintah pusat memutuskan memekarkan Papua menjadi empat provinsi lainnya. Maka, total menjadi enam provinsi yang ada di Papua. Uniknya, kata Feri, empat provinsi baru tersebut bisa langsung mengikuti Pemilu 2024. 

"Nasib berbeda dialami oleh Kalimantan Utara, didirikan pada 2013 tapi mereka tidak bisa serta merta ikut di pemilu 2014. Mereka harus menunggu enam tahun untuk bisa mengikuti pemilu 2019. Itu sebabnya apa yang terjadi di wilayah Papua membicarakan sebaran wilayah," kata dia. 

Feri kemudian menjelaskan suara Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019 di Papua sangat dominan. Di Pemilu 2014, suara Jokowi-JK di bumi Cendrawasih itu mencapai 67 persen. Lalu pada 2019, suara di Papua Barat dari semula 72 persen menjadi 99 persen. 

Feri pun menyinggung soal peranan Mendagri Tito Karnavian di Papua. "Saat itu ketika Jokowi menang Pilpres di Papua, Jenderal Tito Karnavian kebetulan menjadi Kapolda Papua. Lalu, pada pemilu saat ini kebetulan sekali Jenderal Tito juga merupakan Menteri Dalam Negerinya," tutur dia. 

Baca Juga: 3 Pakar Hukum Bintangi Dirty Vote, TKN Pertanyakan Kapasitasnya

2. Tunjuk penjabat di 20 provinsi, jumlah yang sama dengan sebaran wilayah

Penyerahan bantuan Program Indonesia Pintar (Muchlis J/Instagram Jokowi)

Dalam film dokumenter itu, Feri juga menyinggung soal kebijakan baru Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang menunjuk langsung pengganti kepala daerah sementara yang sudah habis masa kinerjanya. Kebijakan itu dianggap menjadi jalan tengah sambil menunggu pilkada serentak pada November 2024.

Namun uniknya, kata Feri, jumlah kepala daerah sementara itu bertugas di 20 provinsi. Posisi penjabat kepala daerah itu mulai dari gubernur hingga wali kota atau bupati. Total suara yang bisa diamankan di 20 provinsi itu mencapai 140 juta atau lebih dari 50 persen suara. Persyaratan yang dibutuhkan untuk menang pemilu dalam waktu satu putaran. 

Satu kebetulan lainnya, kata Feri, orang-orang yang ditunjuk Jokowi sebagai penjabat (Pj) kepala daerah diketahui memiliki relasi personal dengan mantan Wali Kota Solo itu. Ia kemudian mengambil contoh Pj Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin. 

"Beliau ini pernah menjabat sebagai Kepala Biro Kesekretariatan Presiden pada 2016. Kemudian, menjadi Deputi Kesekretariatan di 2021," kata Feri. 

Hal serupa juga terjadi pada Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Pada 2017, ia tercatat menjabat Kepala Kesekretariatan Presiden. 

"Pj Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana dulu tercatat pernah menjadi Kapolres Surakarta di 2010. Saat itu, Presiden Joko Widodo masih menjabat Wali Kota Solo," tutur dia. 

3. Warga diimbau kawal TPS saat dan pasca-pemungutan suara

Pekerja menata logistik Pemilu 2024 di atas kapal untuk didistribusikan ke sejumlah pulau di Pelabuhan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (11/2/2024). (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Sementara, Feri mengatakan, untuk bisa mencegah praktik kecurangan itu terjadi, maka warga didorong berpartisipasi aktif menjaga Tempat Pemungutan Suara (TPS).

"Jadi, harus dikawal (TPS) sebelum dan sesudahnya (pemungutan suara)," kata Feri kepada IDN Times, kemarin. 

Ia membantah mewakili kepentingan paslon tertentu. Menurutnya, bila ada paslon tertentu yang sedikit disinggung soal dugaan kecurangan, hal itu lantaran mereka belum berkuasa saja. Sedangkan, paslon nomor urut dua didukung rezim penguasa saat ini. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya