Mengapa RUU Perlindungan Data Pribadi Tak Kunjung Disahkan DPR?
Padahal, RUU itu mulai dibahas sejak 2014
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Insiden kebocoran 279 juta data pribadi warga Indonesia di BPJS Kesehatan menjadi alarm agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) segera disahkan. Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Samuel A Pangerapan, mengatakan RUU itu memang sudah dibahas sejak tahun 2014.
Tetapi, hingga kini belum juga rampung. Publik pun bertanya apa yang menjadi penghalang sehingga sulit diselesaikan. RUU itu sempat masuk program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2020, namun kembali tertunda dan dijanjikan akan rampung pada 2021.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, Muhammad Farhan, mengatakan penyebab RUU itu tak kunjung disahkan karena adanya perbedaan pendapat mengenai otoritas perlindungan data (OPD). Ia mengatakan masih ada perdebatan di antara pemerintah dan anggota DPR.
"Teman-teman di DPR menginginkan agar OPD dipegang oleh lembaga independen. Tetapi, pemerintah sampai Presiden Jokowi sudah memiliki sikap yang firm bahwa pemerintah ingin menempatkan OPD di bawah Kemkominfo. Secara, teknis OPD akan dijalankan oleh Dirjen Aptika," kata Farhan ketika dihubungi oleh IDN Times pada Jumat (28/5/2021).
Ia tak membantah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga melakukan pengumpulan data. Tetapi, instansi itu tetap harus bertanggung jawab kepada presiden dan DPR.
Keinginan politik agar OPD berada di bawah Kominfo didasari alasan data pribadi kini disimpan oleh banyak institusi, termasuk perusahaan swasta dan asing.
"Data-data kita itu kan ditarik melalui berbagai macam cara, mulai dari jasa keuangan digital, aplikasi angkutan massal seperti Gojek, bank, rumah sakit sampai ke masalah layanan over the top, dikumpulkan melalui Facebook dan lain-lain," tutur dia.
Apabila data itu dikelola perusahaan asing, kata Farhan, rentan disalahgunakan. Aksi penyalahgunaan data oleh otoritas asing bisa ditekan bila dilakukan kesepakatan antarnegara.
"Yang meneken kesepakatan itu kan menteri yang melakukan atas nama presiden dan negara," ujarnya.
Jika kembali terjadi kebocoran data dan perangkat hukumnya belum ada, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat?
Baca Juga: Kasus Kebocoran Data, Ahli: Raid Forums Masih Bisa Diakses
1. DPR khawatir jika data dipusatkan di Kominfo akan terjadi konflik kepentingan
Sementara, di sisi lain, anggota DPR berkukuh ingin OPD dikelola lembaga independen karena khawatir Kominfo memiliki konflik kepentingan dengan instansi pemerintah yang juga melakukan pengumpulan data. Farhan memberikan contoh, Telkom atau anak perusahaannya Telkomsel. Ada pula kebijakan dari Dinas Dukcapil (Kemendagri) yang mengumpulkan data KTP elektronik yang membolehkan bank milik negara atau Himbara mengakses data publik.
"Jadi, masing-masing punya kekhawatiran dan argumen sehingga deadlock. Untuk itulah menurut saya perlu duduk bersama dan mencari jalan tengahnya. Salah satu pihak ya harus mengalah," kata Farhan.
Ia menyadari lantaran berada di koalisi pendukung pemerintah, tentu akan mendukung argumen pemerintah. Namun, Farhan mengaku tak mau mendukung secara membabi buta sehingga harus ada argumen yang kuat agar OPD dikelola oleh Kkominfo.
"Jadi, kami dengan koalisi pendukung pemerintah saling mencari argumen untuk menguatkan dan bukan mematahkan argumen tersebut," tutur dia.
Baca Juga: [BREAKING] Akui Datanya Bocor, BPJS Kesehatan Lapor ke Bareskrim