Pakar Hukum: Pencawapresan Gibran Belum Aman usai Putusan DKPP
Penggugat bisa jadikan putusan DKPP untuk gugat ke PTUN
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan bahwa usai putusan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 5 Februari 2024 lalu, proses pencawapresan Gibran Rakabuming Raka belum final.
Penggugat bisa menjadikan putusan dari DKPP untuk membuat gugatan baru terkait penetapan Gibran sebagai cawapres. Gugatan itu bisa dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Ketua DKPP memang bisa menghukum pelanggaran etik dari Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum). Kalau lah ini pidana atau pelanggaran berkaitan dengan proses pencalonan atau pencalonannya itu tidak sah, maka tempatnya lain lagi, bukan di DKPP. Itu di PTUN," ujar Feri ketika dihubungi IDN Times, Kamis (8/2/2024).
Ia menambahkan, seandainya ditemukan dugaan Ketua KPU menerima suap untuk tetap memproses pendaftaran Gibran maka hal tersebut masuk ke ranah tindak pidana. Di sisi lain, Feri mengkritik pernyataan yang disampaikan oleh Ketua DKPP, Heddy Lugito yang menyebut putusan tersebut tidak akan berdampak ke proses pencalonan Gibran sebagai cawapres.
"Jadi, harus dilihat dulu konteksnya. Tetapi, ini kan sudah disimpulkan bahwa Ketua KPU melanggar etik, tapi ini tidak bisa mengubah proses pencalonan. Ini tidak bisa mengganggu pemilu, gak bisa begitu. Itu kesimpulan yang terlalu cepat," kata dia.
Menurutnya, setelah ada keputusan dari DKPP, lalu dilakukan pemeriksaan apakah keputusan yang terbukti melanggar etik itu, dinyatakan sah atau tidak.
"Yang menentukan ini, ya ada di PTUN. Bawaslu juga bisa mempersengketakan pencalonan yang melanggar etik itu," ucapnya.
Baca Juga: Ahok Luruskan Pernyataan soal Jokowi- Gibran Tak Bisa Kerja
1. Tidak ada tingkatan pelanggaran etik di dalam panduan DKPP
Feri mengaku bingung dengan sanksi yang dijatuhkan oleh DKPP kepada komisioner KPU. Sebab, di dalam pedoman pelanggaran etik yang dibuat oleh DKPP tidak dikenal istilah 'sanksi peringatan keras terakhir.'
"Setahuku gak ada (di pedoman etik) sanksi peringatan berat keras terakhir itu. Skala levelling sanksi itu tidak ada. Jadi, itu improvisasi yang mereka buat," kata dia.
Dia menyampaikan, seharusnya usai dijatuhkan sanksi peringatan keras terakhir bagi Ketua KPU, Hasyim Asy'ari maka diikuti dengan sanksi pemberhentian. Pasalnya, ia sudah tiga kali dikenai sanksi dari DKPP.
"Logika berpikir itu yang gak sehat. Seharusnya, setelah sanksi peringatan keras kan, ada sanksi keras yang kemudian diulang lagi sanksi peringatan keras terakhir. Jadi, (sanksi) dibuat-buat untuk memaklumi ketua. Ketua KPU pun sangat percaya diri," tuturnya.
Menurutnya, bila Hasyim tidak dijatuhi pemecatan, seharusnya ia diberhentikan dari posisi Ketua KPU.
"Jadi, harusnya ia dijadikan komisioner biasa. Tetapi, sanksi itu pun tidak dijatuhkan. Kayaknya orang ini sudah dilindungi," katanya.
Editor’s picks
Baca Juga: Emil Dardak Tegaskan Putusan DKPP Tak Terkait dengan Pencalonan Gibran