Perludem Sentil KPU: Perbaiki Sistemnya Bukan Hapus Grafik Sirekap
KPU berdalih grafik munculkan polemik di ruang publik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyentil sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang menghentikan penayangan grafik atau diagram rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2024. Semula grafik itu ditayangkan di situs pemilu2024.kpu.go.id.
KPU beralasan penampilan grafik angka perolehan suara dapat menimbulkan polemik dan disinformasi. Namun, menurut Perludem, alasan tersebut tidak masuk akal.
"Tampilan grafik Sirekap yang diturunkan itu menunjukkan KPU gagal mengelola manajemen rekapitulasi. Sebab, itu dilakukan pasca-banyak kritikan ke Sirekap KPU, ketika suara PSI (Partai Solidaritas Indonesia) tiba-tiba melonjak," ujar peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil kepada IDN Times di Bogor, Jumat (8/3/2024).
Menurut Fadli, alih-alih menurunkan tayangan grafik rekapitulasi angka, KPU seharusnya memperbaiki sistem Sirekap yang kerap bermasalah tersebut.
"Bukan malah menurunkan informasi-informasi penting dari sistem itu. Itu kan pendekatan keliru," kata dia.
Sementara, menurut Fadli, publik perlu mengawal informasi perolehan suara, baik di Pilpres atau Pemilu Legislatif lewat grafik Sirekap tersebut.
1. Publik kini harus cek ke masing-masing daerah dan TPS di Sirekap
Fadli pun menyadari dengan dihapusnya grafik rekapitulasi angka, menyebabkan publik sulit mengawal perolehan suara. Sebab, untuk bisa mengetahui perolehan suara, publik harus membuka masing-masing daerah dan Tempat Pemungutan Suara (TPS).
"Makanya, kalau dulu tujuan awal Sirekap itu bisa memberikan ruang bagi publik untuk mengontrol proses rekapitulasi, sekarang malah menutup akses," kata Fadli.
Ia menduga KPU bukan ingin membatasi akses bagi publik untuk memantau rekapitulasi angka Pilpres 2024, tetapi diduga agar tak bisa menyaksikan penghitungan suara Pileg. Sebab, momen tersebut terjadi usai lonjakan suara PSI yang mendadak jadi sorotan.
"Sepertinya ini akan terus berlanjut hingga 20 Maret ya," ujarnya.
Fadli tak menampik pemilih bisa saja merujuk ke situs alternatif seperti Kawal Pemilu atau Warga Jaga Suara. Namun, data yang dimiliki masyarakat sipil itu tidak selengkap milik data KPU.
"Karena basis (Kawal Pemilu atau Warga Jaga Suara) kan relawan. Kalau (data) KPU kan sifat mandatory, dari KPU kepada petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara)," tutur dia.
Baca Juga: Grafik Real Count Dihentikan, Menko Polhukam Hadi Bakal Temui KPU