TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perludem Sentil KPU: Perbaiki Sistemnya Bukan Hapus Grafik Sirekap

KPU berdalih grafik munculkan polemik di ruang publik

Jajaran KPU RI saat membuka rapat pleno di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat (28/2/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Jakarta, IDN Times - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyentil sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang menghentikan penayangan grafik atau diagram rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2024. Semula grafik itu ditayangkan di situs pemilu2024.kpu.go.id.

KPU beralasan penampilan grafik angka perolehan suara dapat menimbulkan polemik dan disinformasi. Namun, menurut Perludem, alasan tersebut tidak masuk akal. 

"Tampilan grafik Sirekap yang diturunkan itu menunjukkan KPU gagal mengelola manajemen rekapitulasi. Sebab, itu dilakukan pasca-banyak kritikan ke Sirekap KPU, ketika suara PSI (Partai Solidaritas Indonesia) tiba-tiba melonjak," ujar peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil kepada IDN Times di Bogor, Jumat (8/3/2024). 

Menurut Fadli, alih-alih menurunkan tayangan grafik rekapitulasi angka, KPU seharusnya memperbaiki sistem Sirekap yang kerap bermasalah tersebut.

"Bukan malah menurunkan informasi-informasi penting dari sistem itu. Itu kan pendekatan keliru," kata dia. 

Sementara, menurut Fadli, publik perlu mengawal informasi perolehan suara, baik di Pilpres atau Pemilu Legislatif lewat grafik Sirekap tersebut. 

1. Publik kini harus cek ke masing-masing daerah dan TPS di Sirekap

Perolehan suara dalam situs KPU di Pileg 2024 per Minggu (3/3/2024) dilihat pada pukul 15.00 WIB (Tangkapan Layar KPU)

Fadli pun menyadari dengan dihapusnya grafik rekapitulasi angka, menyebabkan publik sulit mengawal perolehan suara. Sebab, untuk bisa mengetahui perolehan suara, publik harus membuka masing-masing daerah dan Tempat Pemungutan Suara (TPS). 

"Makanya, kalau dulu tujuan awal Sirekap itu bisa memberikan ruang bagi publik untuk mengontrol proses rekapitulasi, sekarang malah menutup akses," kata Fadli.

Ia menduga KPU bukan ingin membatasi akses bagi publik untuk memantau rekapitulasi angka Pilpres 2024, tetapi diduga agar tak bisa menyaksikan penghitungan suara Pileg. Sebab, momen tersebut terjadi usai lonjakan suara PSI yang mendadak jadi sorotan. 

"Sepertinya ini akan terus berlanjut hingga 20 Maret ya," ujarnya.  

Fadli tak menampik pemilih bisa saja merujuk ke situs alternatif seperti Kawal Pemilu atau Warga Jaga Suara. Namun, data yang dimiliki masyarakat sipil itu tidak selengkap milik data KPU. 

"Karena basis (Kawal Pemilu atau Warga Jaga Suara) kan relawan. Kalau (data) KPU kan sifat mandatory, dari KPU kepada petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara)," tutur dia. 

Baca Juga: Grafik Real Count Dihentikan, Menko Polhukam Hadi Bakal Temui KPU

2. KPU bisa dijatuhi sanksi administrasi oleh Bawaslu

Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja saat ditemui di Kantor DKPP, Jakarta Pusat (26/2/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Fadli pun sepakat bila seharusnya KPU dapat dikenai sanksi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Minimal sanksi administrasi. 

"Bawaslu bisa memerintahkan KPU agar mengembalikan beberapa informasi penting di Sirekap. Karena ini kan tindakan administrasi dalam tahapan pemilu, dan bisa saja dijatuhi sanksi oleh Bawaslu. Tapi kan Bawaslunya kan juga begitu," kata diq. 

Sementara, Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, mempertanyakan terkait batas waktu dihapusnya grafik di Sirekap oleh KPU. Dia menyebut, Bawaslu beberapa waktu lalu sempat mengingatkan kepada KPU untuk memberhentikan sementara penggunaan Sirekap.

"Seharusnya SOP-nya seperti apa? Kan kita minta dulu untuk diberhentikan sementara untuk memperbaiki. Pertanyaan sekarang sudah diberhentikan sementara atau bagaimana?" kata dia saat ditemui di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Selasa, 6 Maret 2024. 

Bagja juga mempertanyakan alasan KPU hingga saat ini belum juga menjelaskan ketidakakuratan Sirekap.

"Jangan juga sistem yang sudah dibangun itu tidak menampilkan apa yang seharusnya ditampilkan. Nah, sekarang kan sudah dihentikan misalnya, berapa lama pertanyaannya? Kemudian kenapa itu tidak presisi? Itu juga sampai sekarang belum dijelaskan," ucapnya.

"Habis itu kan seharusnya ada formulir DA, DA1, DB dan ini bisa ditampilkan ke kecamatan, sehingga masyarakat bisa melihat perbedaan, jika ada perbedaan. Jika ada permasalahan antara C Hasil dengan rekap di tingkat kecamatan atau teman-teman saksi," sambungnya. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya