Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi I DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon, mengaku heran dengan sikap pemerintah yang malah sepakat menggandengkan perjanjian ekstradisi dengan kesepakatan pertahanan (Defence Cooperation Agreement) bersama Singapura. Apalagi isi DCA yang disepakati masih sama seperti tahun 2007 lalu di Bali. Namun, kesepakatan itu tidak diratifikasi oleh DPR karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) urung mengajukan surpres ke parlemen.
Salah satu kesepakatan DCA yang dikritik keras oleh Effendi yakni menyangkut kesediaan Indonesia memberikan area untuk angkatan bersenjata Negeri Singa (SAF) berlatih militer. Area yang diberikan izin untuk dipakai Singapura menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna.
"Ini kan pihak Singapura bahkan bisa minta menggunakan (area itu) untuk military training-nya bukan hanya dia sendiri saja lho. Dia (militer Singapura) juga bisa menggunakan area latihan itu dengan negara lain," ungkap Effendi kepada media di Jakarta pada Jumat, (28/1/2022).
Ia menyebut sudah menyampaikan keberatan tersebut kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ketika menggelar rapat kerja secara tertutup di parlemen pada Kamis, 27 Januari 2022 lalu.
Menurutnya, kesepakatan tersebut berpotensi bisa melahirkan pelanggaran kedaulatan oleh Negeri Singa. Sebab, selain bisa mengajukan izin untuk bisa berlatih sendiri, Negeri Singa juga dapat mengajak negara ketiga untuk latihan perang bersama di teritori Indonesia. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.
"Justru itu yang menjadi keberatan bagi kami ke pemerintah dan mereka sulit memberikan jawaban. Kenapa kamu barter sama military training area? Kenapa kamu kasih kesempatan untuk melakukan exercise di laut dan udara kita?" tanya politikus PDIP itu heran.
Apa alasan Menhan Prabowo akhirnya bersedia menandatangani perjanjian pertahanan yang sudah pernah ditolak di tahun 2007?