Jakarta, IDN Times - Gambar-gembor pemindahan ibu kota baru sudah terdengar gaungnya jauh sebelum Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengumumkan secara resmi akhir Agustus 2019 lalu. Pengusaha, pemerintah daerah dan pihak berkepentingan lainnya berlomba menghitung untung dan waktu, berbanding terbalik dengan dasar hukum pemindahan ibu kota yang hingga kini tak kunjung rampung.
DPR masih terus menanti penyerahan naskah draft RUU IKN dari pemerintah. Tidak ada yang tahu pasti apa yang menghambat jalan pemerintah Joko “Jokowi” Widodo-Ma’ruf Amin dalam merampungkan usulan RUU IKN.
Presiden Jokowi resmi mengumumkan rencana perpindahan Ibu Kota pada pertengahan tahun 2019 lalu. Kawasan Kalimantan Timur ditetapkan menjadi kawasan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru.
Sejak Desember 2019, Jokowi telah mengatakan akan membentuk Badan Otorita Ibu Kota (BOI). Selain itu, pemerintah juga sejak Desember 2019 mengatakan akan menyelesaikan undang-undang yang berkaitan dengan Ibu Kota negara.
Ada setidaknya 14 undang-undang yang saat itu tercatat masuk dalam program omnibus law yang kemudian menjadi prioritas pemerintah. Sayangnya, hingga saat ini belum ada draft RUU IKN yang masuk ke DPR dari pemerintah.
"Revisi undang-undang terkait ibu kota seingat saya 14 undang-undang ada di omnibus," kata Jokowi di Novotel, Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (18/12) sebagaimana telah diberitakan dalam IDN Times.
Masuknya RUU IKN sebagai bagian dari omnibus law menjadi sorotan Walhi. “Itu yang aneh juga kenapa mesti di-omnibus-in ya? Ibu kota negara kan harusnya standar aja,” kata Pengkampanye Energi dan Perkotaan Walhi Executive Nasional, Dwi Suwung. “Buat kita aneh. Apa yang harus di-omnibus-kan?” kata dia lagi.
Menanggapi polemik tentang RUU IKN yang seakan semakin panas, Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) ikut angkat bicara. Secara tegas dia menyebut persoalan RUU IKN menjadi gambaran bahwa rezim saat ini adalah rezim pedagang.
“Rezim pedagang itu kan yang penting jual dulu. Buat dulu makanya maketnya dibuat dulu, sayembara, untuk diperdagangkan layaknya bisnis properti. Jadi hanya untuk menarik uang. Menarik investor aja,” kata Merah ketika dihubungi IDN Times pada Senin (24/2).
Merah mengingatkan ada peluang korupsi dari pengadaan mega proyek perpindahan ibu kota ini. Termasuk dalam hal tukar guling yang akan dilakukan.
Tukar guling kemungkinan dilakukan kepada para pemilik dari 162 konsesi yang ada di atas tanah yang akan menjadi IKN baru. “162 konsesi apa mau sukarela menyerahkan tanahnya kepada negara sementara mereka dapat izin dan tanda tangan kontrak? Itu harus diselesaikan,” katanya.
Masuknya RUU IKN dalam omnibus law meski menjadi prolegnas, menurutnya, menimbulkan kesan pembahasan mengenai RUU ini tampak terburu-buru.
JATAM juga mempertanyakan aspirasi siapa yang digunakan untuk merumuskan RUU IKN nantinya. “Mestinya undang-undang itu harus berdasarkan aspirasi masyarakat. Ini aspirasi siapa? Aspirasi oligarki, ibu kota negara ini untuk siapa? Bukan untuk rakyat,” katanya.
Secara terus terang, JATAM menyatakan diri menolak IKN. LSM ini bersama dengan WALHI Nasional, WALHI Kalimantan Timur, Trend Asia, Forest Watch Indonesia, Pokja 30, dan Pokja Pesisir dan Nelayan mengeluarkan laporan hasil kajian terkait dengan Ibu Kota Negara sebagai Koalisi Masyarakat Sipil.
“Justru jangan dikebut (pembahasan RUU IKN), kalau bisa jangan masuk-masuk itu RUU IKN. Dan kalau masuk pun akan kita gugat,” kata Merah kepada IDN Times.
Laporan tersebut berjudul “Ibu Kota Baru Buat Siapa?” di dalamnya menuliskan tentang nama-nama tokoh publik yang diketahui memiliki konsesi di wilayah calon ibu kota. Hitung rugi dan untung tak terhindarkan.