Warga berada di atas jembatan yang putus akibat bencana banjir dan luapan Sungai Peusangan di Peusangan Selatan, Bireuen, Aceh, Rabu (3/12/2025) (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)
Sebelumnya, Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, menegaskan, persoalan kerusakan hutan di Indonesia bukanlah masalah yang muncul dalam satu atau dua tahun terakhir, melainkan akumulasi dari kebijakan dan praktik buruk yang berlangsung sejak era sebelumnya.
Hal itu Firman sampaikan dalam rapat kerja Komisi IV DPR bersama Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, yang membahas bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Dia menilai, Raja Juli tidak bisa disalahkan secara sepihak atas kondisi kerusakan hutan yang kini menjadi sorotan publik. Firman mengingatkan, kerusakan ekologis terjadi jauh sebelum menteri yang menjabat saat ini mengemban tugasnya.
“Pak Menteri (Raja Juli Antoni) ini cuci piring, makanya saya bela. Makanya waktu diminta (Muhaimin Iskandar) tobat nasuha saya bela. Karena kejadian perusakan hutan ini, bukan satu tahun atau dua tahun. Setelah reformasi, hutan kita hancur,” katanya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (4/12/2025).
Firman juga menyoroti kebijakan reforma agraria yang menurutnya turut berkontribusi terhadap kerusakan kawasan hutan dan memperburuk risiko bencana.
“Hentikan reforma agraria, ini juga salah satu penyebab kerusakan hutan kita,” kata dia.
Dia menggambarkan betapa rentannya kondisi geologis sejumlah kawasan di Indonesia. Bahkan Firman mengaku, merasakan langsung risiko tersebut ketika melintasi wilayah rawan longsor.
“Saya miris Pak, jangankan yang di Sumatra, bahkan kami yang duduk di ruangan ini kadang-kadang takut waktu lewat Puncak takut ada tanah longsor, mau lewat ke mana takut ada jalan tiba-tiba putus seperti yang di Aceh,” ujar dia.