Ilustrasi KPU. (IDN Times/Sukma Shakti)
Di sisi lain, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi), Jeirry Sumampow, menduga Keputusan 731/2025 bisa jadi bukan cuma permalasahan teknis, melainkan berkaitan dengan isu ijazah Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, yang saat ini sedang digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gibran dan KPU digugat warga sipil bernama Subhan Palal lantaran dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena ada beberapa syarat pendaftaran cawapres yang dahulu tidak terpenuhi. Putra Presiden ketujuh RI, Joko "Jokowi" Widodo itu digugat karena dinilai tak memiliki ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat.
Jeirry pun menduga adanya kepentingan KPU untuk menutupi masalah legalitas ijazah, terutama milik Gibran yang kini jadi perbincangan hangat publik. Diduga KPU melakukan kelalaian saat verifikasi syarat capres-cawapres pada Pemilu 2024 lalu.
"Kita patut curiga juga, siapa kiranya yang hendak dilindungi KPU. Ada beberapa kemungkinan. KPU sendiri, untuk melindungi institusi KPU dari kemungkinan bahwa mereka lalai memverifikasi syarat calon dalam pemilu lalu secara benar dan adil. Atau memang ada sesuatu yang hendak mereka tutupi. Apalagi terkait syarat calon tersebut, khususnya terkait ijazah wapres kini sedang ramai dibicarakan publik," kata dia.
Jeirry juga curiga KPU berupaya melindungi pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu, khususnya pasangan calon yang menang dalam pemilu lalu. Upaya itu dilakukan untuk mencegah adanya isu pelanggaran yang dibahas publik.
"Terutama jika ada isu publik misalnya dugaan pemalsuan dokumen, masalah pajak, atau pelanggaran etika yang terkait dengan mereka," tutur dia.
Jeirry juga menduga adanya kepentingan elite politik penguasa. Dalam konteks politik kartel dan populisme politik, keputusan ini bisa dibaca sebagai kompromi demi stabilitas elite, bukan demi kepentingan publik.
"Begitu juga, bisa jadi ini adalah kompromi dari kemungkinan Komisioner KPU mempunyai persoalan hukum dalam pemilu lalu, yang masih bisa diungkap dan dipersoalkan saat ini," ungkap dia.
Menurut Jeirry, Keputusan KPU RI 731/2025 ini melanggar empat prinsip fundamental pemilu yang dijamin konstitusi dan norma internasional. Prinsip pertama yang dilanggar ialah terkait transparansi. Prinsip ini mensyaratkan semua tahapan pemilu, termasuk syarat dan verifikasi calon, dilakukan secara terbuka agar publik dapat menilai integritas kandidat. Sebab para prinsipnya semua dokumen yang terkait dengan syarat calon harus bisa diakses publik.
Dengan menutup 16 dokumen krusial selama lima tahun, KPU menghalangi publik untuk memeriksa kebenaran dan keaslian syarat pencalonan. Ini masuk kategori pelanggaran berat dalam pemilu. Apalagi malah KPU sebagai pelakunya.
Prinsip kedua terkait akuntabilitas. Jeirry menegaskan, KPU adalah lembaga publik yang bertanggung jawab kepada rakyat. Menutup dokumen terkait integritas, rekam jejak, dan kepatuhan hukum calon, melemahkan pengawasan publik dan menunjukkan buruknya tanggung jawab KPU terhadap proses Pemilu.
Ketiga ialah prinsip kepastian hukum dan kesetaraan. Jika informasi seperti ijazah, laporan pajak, dan LHKPN dikecualikan, muncul kecurigaan adanya standar ganda. Beberapa calon bisa dilindungi dari pemeriksaan publik sementara calon lain tidak mendapat keuntungan serupa.
Dalam hal ini KPU melanggar prinsip kesetaraan. Dan dengan ini, KPU menunjukkan keberpihakan kepada calon tertentu, khususnya calon yang memenangkan Pemilu lalu. Sebab akses untuk memeriksa kejujuran calon, track record dan latar belakang calon ditutup KPU.
Kemudian keempat berkaitan dengan prinsip partisipasi publik. Jeirry menegaskan, pemilih berhak mengetahui latar belakang calon sebelum atau sesudah menentukan pilihan. Menutup akses tersebut dianggap merusak kualitas partisipasi dan mereduksi hak pemilih yang dijamin UU Pemilu dan Keterbukaan Informasi Publik.