Ilustrasi siswa sekolah dasar belajar online. (IDN Times/Debbie Sutrisno)
Salah satu prinsip dasar pendidikan adalah terjaminnya hak semua warga untuk bisa mengakses pendidikan yang layak dan berkualitas, tak terkecuali bagi para penyandang disabilitas. Program pendidikan inklusif menjadi gerakan bersama yang terus diikhtiarkan Pemkab Banyuwangi.
Kabupaten di ujung timur Pulau Jawa ini terus berupaya menginisiasi penguatan pendidikan inklusif. Banyuwangi ingin mengakhiri institusionalisasi anak penyandang disabilitas. Idealnya, penyandang disabilitas memang harus berkembang dengan pengasuhan berbasis keluarga dan rehablitasi berbasis masyarakat, bukan seakan-akan dikotakkan dan dikucilkan dalam lembaga khusus seperti sekolah luar biasa (SLB).
Membawa spirit sebagai kota welas asih, Kabupaten Banyuwangi pun terus berupaya agar intervensi untuk penyandang disabilitas bisa melampaui hal-hal yang bersifat charity atau amal. Intervensinya wajib berkonsep pemberdayaan, seperti beasiswa, penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, pelatihan, dan penguatan ekonomi.
Salah satu wujud nyata untuk mendorong peningkatan kualitas SDM tanpa terkecuali untuk penyandang disabilitas adalah dengan memperbanyak sekolah-sekolah inklusi yang ditunjang dengan fasilitas dan guru berkompeten. Kini, ada 217 sekolah inklusi yang tersebar di seluruh kecamatan di Banyuwangi dari berbagai tingkatan, mulai TK hingga SMA.
Di Banyuwangi program tersebut diberi nama ‘Agage Pinter’ yang dalam bahasa lokal Banyuwangi (bahasa Osing) berarti ‘cepat pintar’. Lewat program ini, ABK di Banyuwangi bisa belajar di sekolah reguler sebagaimana pelajar yang lain, tanpa memandang keterbatasan fisik.
Program Agage Pinter dimulai sejak 2014 di mana semua sekolah wajib menerima semua anak tanpa terkecuali, termasuk ABK dan anak penyandang disabilitas, khususnya yang rumahnya dekat dengan lokasi sekolah tersebut.
Keseriusan Pemkab Banyuwangi mengurus sekolah inklusif ini juga ditunjukkan dengan peningkatan kapasitas guru dan sarana-prasarana di sekolah yang terus ditingkatkan. Total saat ini ada lebih dari 200 guru yang mempunyai kompetensi sebagai pendamping anak berkebutuhan khusus. Mereka yang mengajar di berbagai sekolah inklusi mulai dari TK hingga tingkatan SMA telah melalui pendidikan yang disyaratkan.
Dengan program ini, Kabupaten Banyuwangi ingin melawan hal-hal yang merintangi inklusi masyarakat dalam berbagai bentuk, mulai dari bias gender, SARA, hingga keterbatasan fisik. Dibukanya kesempatan bagi ABK untuk belajar di sekolah reguler, memungkinkan Banyuwangi mewujudkan pendidikan yang ramah anak, tidak diskiminatif, dan penuh toleransi.
Tak berhenti di situ, Banyuwangi juga meluncurkan program beasiswa bagi para penyandang disabilitas yang berprestasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi hingga selesai.