Seolah mudah berubah, dari pecinta Sari Roti, kini menjadi penghujat produsen roti ini. Pasti ada yang berpendapat bahwa sikap PT Nippon Indosari Corpindo ini sebagai blunder dan menilai semestinya mereka diam saja. Namun, hal tersebut adalah ranah strategis yang berkaitan dengan citra produk di mata konsumen -- siapapun konsumennya. Biarlah pakar pemasaran produk atau hubungan masyarakat yang memperdebatkan itu.
Namun, satu hal yang meresahkan adalah bukan perkara itu blunder atau tidak, melainkan bagaimana reaksi netizen yang menghujat bantahan dari produsen Sari Roti. Netizen pun banyak yang langsung menghakimi PT Nippon Indosari Corpindo sebagai pihak antagonis. Mereka berniat tak makan produk Sari Roti lagi, bahkan ada yang meminta produsen minta maaf pada umat Islam.
Tidak dipungkiri, pola pikir bahwa "jika kamu tak bersama kami, maka kamu musuh kami" ini sedang berkembang cukup pesat di Indonesia. Para netizen tersebut menganggap bahwa karena produsen Sari Roti menegaskan tak terlibat dalam aksi tersebut, maka mereka berarti memusuhi Islam sehingga harus dihujat, diboikot, bahkan dipaksa meminta maaf.
Pola pikir seperti ini mengingatkan pada retorika yang dikeluarkan oleh George W. Bush paska 9/11 dan sebelum menyerang Irak. Kala itu Bush berpidato "either you are with us, or you are with the terrorists" atau "kamu bersama kami (AS), atau kamu bersama para teroris".
Retorika yang kemudian jadi pola pikir golongan neo-konservatif fasis dan rasis ini membuat dukungan terhadap invasi ke Irak dan sentimen anti-Muslim (yang dianggap teroris) menguat. Pola pikir ini tak mengizinkan adanya ruang untuk berbeda pendapat. Konsekuensinya tak ada lagi proses diskusi yang bisa menjembatani perbedaan. Jika hal ini semakin berkembang, tak bisa dipungkiri, ini bisa mengarah pada tindak intoleransi.