Belajar dari Pengalaman Ita Muswita, Relawan Perang di Jalur Gaza

Intinya sih...
- Ita Muswita, relawan MER-C di Gaza, menghadapi ketakutan akan ledakan bom dan kematian. Menurut Ita, Gaza tidak aman dan sinyal handphone terbatas. Sebagai relawan di daerah konflik, dukungan keluarga penting untuk menjaga semangatnya. Relawan juga harus siap meninggalkan pekerjaan dan memiliki keikhlasan serta restu orang tersayang.
Jakarta, IDN Times - Ita Muswita, seorang bidan, mengisahkan pengalamannya selama 74 hari bertugas sebagai relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) di Gaza, Palestina.
Dia banyak bertugas membatu perempuan melahirkan di Gaza, Palestina di tengah kondisi perang. Sebagai warga negara yang tak berperang, ketakutan kerap menyelimuti perasaan Ita.
Apalagi saat mengalami kondisi di mana teror dan kematian bisa datang kapan saja. Ita memulai aksi kemanusiaannya di Palestina sejak 18 Maret 2024. Bukan pengalaman pertama, Ita juga pernah terbang ke berbagai negara seperti Filipina, Pakistan, Turki, hingga Suriah atas nama kemanusiaan.
Ini merupakan pengalaman berharga Ita sebagai relawan di daerah perang, yang menginspirasi kita semua. Berikut cerita pengalaman Ita selama di Gaza dalam program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times, Senin (16/7/2024).
1. Persiapan mental, ketakutan adalah manusiawi
Menghadapi ketakutan adalah hal manusiawi, begitu juga dialami Ita. Terutama ketika ia berada di daerah perang. Ancaman ledakan bom menjadi teman sehari-hari Ita selama di Gaza.
Menurut Ita, berpikir tentang kematian adalah hal yang perlu ditanamkan pada dirinya. Jika memang takdir belum menyatakan seseorang harus mati, maka tidak akan terjadi.
"Jadi kalau saya pikir kalau memang belum saatnya, ya udah belum saatnya. Atau kalau memang udah saatnya, yaudah, mau bilang apa lagi, gitu. Tapi kita juga gak mencari mati kok ke sana. Pure kemanusiaan, kalau memang takdir kita ditakdirkan mati di sana," kata dia.
"Keluarga juga sudah ikhlas. Kami juga sudah siap," kata Ita.
2. Memahami kondisi dan bahaya di lapangan
Di mata Ita yang sudah berpengalaman berada di tempat konflik lain seperti Suriah, Gaza adalah salah satu daerah konflik yang sangat berbahaya. Menurut dia, tidak ada tempat yang benar-benar aman di Gaza, bahkan di area yang sudah dinyatakan aman sekali pun.
"Gaza berat, gak ada tempat, kalau kita bilang apakah ada tempat yang aman kalau untuk Gaza? Gak ada tempat yang aman di Gaza. Walau pun kita udah declare bahwa kita di green area, gak mungkin, itu pun kena bom," katanya.
Bahkan sinyal handphone di Gaza juga terbatas. Hanya bisa berhubungan dengan keluarga lewat pesan singkat atau pesan suara, dan itu tak bisa dilakukan pada malam hari.
3. Dukungan keluarga hilangkan rasa patah semangat
Selain itu, menurut Ita, dukungan keluarga menjadi kunci penting untuk menjaga semangat dan motivasi. Persiapan mental ini penting agar relawan dapat tetap fokus dan tidak patah semangat selama menjalankan tugas kemanusiaan.
"Saya support teman-teman relawan bila Gaza sudah buka perbatasan nanti. Saat ini kan saya perlu jelaskan, hanya tenaga kesehatan yang bisa masuk nih dari berbagai negara, hanya tenaga kesehatan. Kalau teman-teman relawan masuk, satu butuh support system yang bagus, artinya dukungan keluarga itu jelas, karena sering kali yang membuat kita patah semangat, kurangnya dukungan keluarga," kata dia.
4. Kesediaan meninggalkan pekerjaan dan komitmen jangka panjang
Di sisi lain, relawan yang terikat dengan pekerjaan harus siap meninggalkan pekerjaan mereka untuk waktu yang tidak menentu. Ita menyebutkan beberapa rekannya harus keluar dari pekerjaannya, mengingat kondisi di daerah konflik tidak menentu. Bahkan, ada potensi penutupan perbatasan masuk Gaza yang waktunya tidak tahu akan berlangsung sampai kapan.
Namun ada juga rekan relawan Ita yang mendapat kelonggaran dari tempat kerjanya, untuk berada di Gaza sampai menyelesaikan misi kemanusiaan. Dia percaya rezeki sudah ditetapkan pada masing-masih individu.
"Jadi bukan karena kita pergi misi terus gak ada rezeki, gak tertutup pintu riski itu, gak. Kita yakin banget itu ada bukti teman-teman juga ketika udah sampai Indonesia, saya tanya, udah kembali kerja? Alhamdulillah. Jadi Alhamdulillah sejauh ini," kata Ita.
5. Keikhlasan dalam bertugas
Ita menegaskan nilai paling penting dalam menjadi relawan adalah keikhlasan, dan meminta restu orang tersayang dengan tulus.
"Ikhlas di hati kadang seperti ini, misalnya, saya bicara yang saya takutkan adalah ada unsur kesombongan yang timbul. Padahal, jauh di lubuk hati gak ada. Saya coba mengimbau kepada teman-teman, ayo minta izin sama keluarga, minta izin sama institusi, ikhlasan hati untuk masuk, insyaallah semua dilancarkan," ujar dia.