Ita Muswita, Bidan Indonesia di Jalur Gaza yang Kisahnya Buat Terenyuh

- Konflik Palestina-Israel meluas, relawan Indonesia bantu kemanusiaan di Gaza.
- Ita Muswita, bidan sukarela MER-C, berjuang di medan perang sejak 18 Maret 2024.
- Ita aktif membantu krisis alam dan perang di dalam dan luar negeri, termasuk Suriah dan Afghanistan.
Konflik antara Palestina dan Israel semakin meluas, menjatuhkan lebih banyak korban baik ibu-ibu hingga anak kecil. Sukarelawan dari berbagai negara dikirim untuk membantu kemanusiaan selama masa perang, tak terkecuali relawan dari Indonesia.
Ita Muswita menjadi bidan sukarela yang dikirim ke Gaza selama 74 hari. Ita memulai aksi kemanusiaannya di Palestina sejak bulan 18 Maret 2024, sebagaimana diceritakan dalam bincang interaktif di program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times pada Senin (15/7/24) yang bertempat di IDN HQ.
1. Semula, Ita adalah seorang perawat bedah ortopedi yang kemudian menempuh pendidikan kebidanan

Ita tergabung menjadi relawan MER-C atau Medical Emergency Rescue Committee, yakni organisasi sosial nirlaba yang aktif bergerak dalam krisis kemanusiaan. Ia menjadi tenaga medis dengan latar belakang pendidikan keperawatan dan kebidanan.
Menariknya, Ita lebih dulu menekuni profesi sebagai perawat bedah ortopedi. Ia mengaku melanjutkan pendidikan kebidanan untuk misi sebagai relawan. Ita mengenang profesinya sebelum diberangkatkan ke Gaza yang banyak berkecimpung di kamar bedah ortopedi dibandingkan kamar bersalin.
"Saya ikut pendidikan perawat, (kemudian) saya lanjut pendidikan bidan. Di perawat ini, saya masuk dalam perawat bedah ortopedi. Kemudian, ada kesempatan untuk melanjutkan sekolah. Saya ambil sekolah bidan. Tapi, saya gak pernah praktik sebagai seorang bidan, hanya untuk misi saja," cerita Ita saat ditanya awal mula perjalanan kariernya di bidang medis.
2. Tidak membayangkan akan jadi relawan, apalagi dikirim ke medan perang

Tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Ita akan menekuni profesi sebagai tenaga medis, apalagi dikirim ke medan perang. Keputusannya untuk mendalami dunia medis, semula hanya ikut-ikutan saja. Tak ada alasan khusus, apalagi niat untuk menjadi sukarelawan sejak masih remaja.
"Dulu tuh sempat terpikir saya di SMA, saya mau kuliah. Tapi, di kemudian hari saya baru terpikir, ini rupanya jalan yang sudah Allah takdirkan sehingga saya bisa jihad profesi di bidang kesehatan," ujar Ita mengenang masa lalunya.
Setelah lulus pendidikan keperawatan, perempuan paruh baya ini bergabung dengan MER-C di tahun 2006, tepatnya saat ia mendaftarkan diri sebagai relawan dalam bencana gempa di Bantul, Yogyakarta. Sejak itu, Ita aktif dalam penanganan berbagai bencana alam, perang, dan berbagai krisis di dalam maupun luar negeri. Kini, Ita menjabat sebagai Kepala Divisi Bantuan Logistik di MER-C.
3. Pengalaman mendebarkan saat ke Suriah, wilayah yang baru selesai berperang, lalu terkena musibah gempa

Ita tak pernah absen membantu berbagai krisis kemanusiaan akibat bencana alam dan musibah yang terjadi di Indonesia. Atas nama persaudaraan, ia juga terbang ke berbagai negara seperti Filipina, Pakistan, Turki, Suriah, dan terbaru Palestina. Dalam perjalanan ke berbagai wilayah, Ita berusaha untuk menyebarkan kebermanfaatan dan berkontribusi bagi lebih banyak manusia.
Pengalaman paling mendebarkan selama jadi relawan dirasakan Ita saat bertugas ke Suriah. Perang yang terjadi di negara tersebut, meluluhlantakkan hampir sebagian besar wilayah tersebut, ditambah lagi terjadi bencana alam gempa bumi yang memperparah keadaan.
"Tingkat kebahayaan paling tinggi dalam pikiran saya, Suriah karena itu pengalaman saya masuk ke daerah yang habis perang, kena bencana juga. Yang kita pikirkan itu proses masuk ke suatu negara, bagaimana check point karena kita kan MER-C masuk ke suatu negara, harus legal," tutur Ita kepada Uni Lubis, Editor in Chief IDN Times dalam interview siang itu.
Perjalanan panjang dari Suriah ke Afghanistan ditempuh dengan berjalan kaki, melalui penjagaan ketat dengan check point yang kompleks di setiap negara. Tentu perjalanan tersebut sangat mengurasi emosi dan tenaga. Namun, keberangkatan itu berhasil menjadi pengalaman berkesan untuk Ita.
"Itu pengalaman yang gila, masuk ke daerah perang. Ketika saya masuk, melihat kondisi Suriah sudah habis perang, kena gempa pula, bisa dibayangkan itu seperti itu. Seiring kemudian masuk ke Afghanistan, dengan check point yang ribet, gak seberat ketika masuk Suriah. Jadi, saya jalani saja alurnya karena sudah mengalami yang Suriah. Ketika masuk yang terakhir ke Gaza, karena sudah ada pengalaman, saya relatif lebih tenang," kata Ita.
4. Pertama kali masuk Gaza, perasaan Ita campur aduk, tak pernah terbayangkan sebelumnya

Berjuang di medan perang sebagai seorang sukarelawan, membuat perasaan Ita campur aduk. Pertama kali ia menginjakkan kaki di Gaza, rasa bahagia, syukur, dan sedih membuncah, tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ditanya perasaan yang mendominasi, jawaban Ita buat terenyuh, "Bahagia, ini salah satu doa saya. Saya sangat berharap bisa masuk Gaza suatu saat, akhirnya terlaksana. Kemudian sedih, yang kita bayangkan ternyata lebih buruk dari yang kita lihat di media. Bersyukur saya masuk dalam tim yang pertama, harapan sih kita masuk ke utara, ke Rumah Sakit Indonesia yang dibangun oleh rakyat Indonesia. Cuma, saat itu, untuk wilayah tengah dan utara udah gak mungkin kami masuk ke situ karena yang bisa dilalui oleh semua relawan adalah Gaza Selatan, daerah Rafah."
Setelah dua minggu bertahan di Mesir, akhirnya ia dan rombongan beranggotakan 11 relawan dari MER-C, dapat masuk ke Gaza. Hati Ita terenyuh melihat kondisi tanah Palestina kala itu. Bangunan porak poranda.
"Situasinya ketika masuk itu kan hujan, kemudian kita melewati tempat kita tinggal yang sudah disiapkan. Sepanjang jalan gak ada lampu, kecuali lampu mobil. Bangunan-bangunan gak bisa kita lihat bangunan utuh. Kalau bangunan tinggi mungkin sudah cuma tinggal berapa lantai, itu pun sudah ambruk. Kemudian kabel-kabel di mana-mana. Kami pun sangat hati-hati mencari jalan sehingga kita sampai ke penginapan yang pertama," Ita mengenang perjalanannya malam itu.
5. Ita: keikhlasan jadi kunci perjuangan sebagai relawan

Keputusan Ita jadi sukarelawan medis ternyata mengorbankan waktu dan tenaga yang besar. Perempuan tersebut juga memilih mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya dan fokus membantu organisasi nirlaba MER-C dalam menyalurkan bantuan ke seluruh penjuru dunia.
"Sebenarnya saya sudah resign, jadi saya lebih leluasa mengikuti misi MER-C," katanya.
Ita memilih pekerjaan sebagai relawan dengan penuh ketulusan. Baginya, kunci terpenting adalah keikhlasan sebab hal itu membuka jalannya menjadi lebih mudah dan lancar.
"Kita punya keyakinan bahwa rezeki sudah ditetapkan. Jadi, bukan karena kita pergi misi, terus gak ada rezeki, tertutup pintu rezeki itu. Gak, kita yakin banget rezeki itu ada. Buktinya teman-teman juga ketika sudah sampai Indonesia, saya tanya sudah kembali kerja," tutup Ita.