Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Bendera Putih, Aceh, Banjir Sumatra
Bendera putih di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Intinya sih...

  • Penolakan bantuan internasional berpotensi melanggar HAM

  • Indonesia jangan sampai meniru Myanmar

  • Bantuan dari UEA diserahkan ke Muhammadiyah untuk didistribusikan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kemunculan bendera putih di Aceh pascabanjir membuat situasi semakin miris. Apalagi jumlah korban meninggal dunia semakin bertambah setiap harinya.

Data dari Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Kamis (18/12/2025) menunjukkan, jumlah korban meninggal dunia telah mencapai 1.068 jiwa. Sementara, tiga pekan usai banjir masih terdapat wilayah yang terisolir.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia (AII) Usman Hamid mengatakan, pengibaran bendera putih yang marak di sejumlah titik di Aceh merupakan wujud suara rakyat. "Bendera putih itu adalah wujud kekecewaan mereka atas kegagalan negara untuk bertindak sigap dan cepat," ujar Usman di dalam keterangan tertulis, Jumat (19/12/2025).

Fenomena pengibaran bendera putih itu, kata Usman, menjadi tamparan keras bagi narasi pemerintah pusat yang selama ini mengklaim situasi masih terkendali. Situasi itu semakin diperparah dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menolak menetapkan status bencana nasional dan tak membuka pintu bagi bantuan dari dunia internasional.

"Dengan korban jiwa yang sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa, ratusan ribu orang mengungsi dan infrastruktur masih lumpuh, lalu mendengar argumen Presiden soal kemandirian, sungguh tidak relevan," tutur dia.

Kemandirian negara, kata Usman, bukan hal yang pantas disinggung ketika warga negara dibiarkan menderita.

1. Menolak bantuan internasional berpotensi melanggar HAM

Aksi pemasangan bendera putih di depan Masjid Raya Baiturrahman sebagai bentuk desakan agar ditetapkan status bencana nasional. (Dokumentasi LBH Aceh)

Lebih lanjut, negara terikat oleh kewajiban International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Artinya, negara wajib melindungi hak hidup dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) untuk menjamin standar hidup layak. Termasuk pangan dan kesehatan warganya.

"Ketika kapsitas nasional terbukti tidak memadai maka penolakan terhadap tawaran bantuan asing bukan lagi soal kemandirian atau kedaulatan negara, melainkan berpotensi melanggar HAM," kata Usman.

Kapasitas itu tidak memadai, terbukti logistik yang coba didistribusikan gagal menembus daerah terisolir. "Menghalangi akses bantuan bagi korban yang sangat membutuhkan merupakan bentuk kelalaian negara dalam melindungi warganya," imbuhnya.

2. Indonesia jangan sampai meniru Myanmar

Feri Amsari dan Usman Hamid (IDN Times/Aryodamar)

Usman pun mewanti-wanti agar Indonesia tidak mengulangi sejarah kelam yang pernah dilakukan oleh junta militer Myanmar ketika menghadapi Badai Nargis 2008 lalu. Kala itu, kata Usman, junta juga menggunakan alasan kedaulatan untuk memblokir bantuan asing.

"Dampaknya puluhan ribu warga tewas. Padahal, mereka seharusnya masih bisa diselamatkan. Indonesia tidak boleh membiarkan kejadian itu terulang. Jika bantuan tersendat, maka menutup pintu bagi tangan-tangan yang ingin menolong adalah tindakan yang tidak manusiawi," katanya.

Bendera putih yang dikibarkan di Aceh adalah ultimatum dari rakyat bagi pemerintah. "Pemerintah harus segera memobilisasi seluruh sumber daya, baik domestik maupun global demi menyelamatkan rakyat yang terdampak bencana," tutur Usman.

Maka, desakan agar pemerintah menetapkan banjir Sumatra sebagai bencana nasional dan membuka keran bagi bantuan internasional adalah tuntutan kemanusiaan yang mendesak.

3. Bantuan dari UEA diserahkan ke Muhammadiyah untuk didistribusikan

Wali Kota Medan Rico Waas ketika menerima bantuan kemanusiaan dari Uni Emirat Arab (UEA). (Dokumentasi Pemkot Medan)

Sementara, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengklarifikasi mengenai bantuan senilai 30 ton beras dari Uni Emirat Arab (UEA) yang ditolak oleh Pemerintah Kota Medan. Bantuan itu batal dikembalikan dan disalurkan ke Muhammadiyah.

"Beras ini diserahkan atas kesepakatan oleh masyarakat, kepada Muhammadiyah Medical Center," ujar Tito ketika memberikan keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur pada hari ini.

Tito menjelaskan, terkait bencana banjir dan longsor ini, Muhammadiyah memang membuat suatu posko untuk bantuan kemanusiaan di Medan. Menurutnya, Muhammadiyah yang akan membagi-bagikan bantuan 30 ton beras itu kepada korban banjir Medan. Respons itu disampaikan usai penolakan bantuan kemanusiaan itu menuai kritik luas dari publik di media sosial.

"Beras ini sekarang sudah ada di tangan Muhammadiyah. Nanti Muhammadiyah yang akan membagikan kepada masyarakat," imbuhnya.

Editorial Team