Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Komisi III rapat dengar pendapat (RDP) bersama pakar hukum terkait penyusunan RUU KUHAP. (IDN Times/Amir Faisol)

Intinya sih...

  • Maqdir Ismail mengusulkan agar penegak hukum tidak menahan tersangka atau terdakwa sebelum ada putusan pengadilan, kecuali dalam kasus tertentu.
  • Ia juga menyarankan agar tokoh politik yang jelas identitasnya tidak perlu ditahan sebelum ada bukti substansial bahwa orang tersebut melakukan kejahatan.
  • Maqdir menyatakan perlunya pengaturan praperadilan di dalam RUU KUHAP dan menyoroti penanganan perkara korupsi oleh KPK dan Kejaksaan Agung. Ahli yang digandeng dianggap tak kompeten.

Jakarta, IDN Times - Praktisi Hukum Maqdir Ismail menyampaikan pandangannya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kepada Komisi III DPR. Ia mengusulkan agar penegak hukum tidak menahan para tersangka atau terdakwa sebelum ada putusan pengadilan.

Hal itu disampaikan Maqdir Ismail saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR di Gedung Nusantara II, Jakarta, Rabu (5/3/2025). 

"Penahanan itu boleh dilakukan sesudah ada putusan, kecuali ada kecualian misalnya terhadap orang-orang yang tidak terang alamatnya, tidak jelas pekerjaannya," kata dia.

1. Tokoh politik yang jadi tersangka ditahan usai putusan pengadilan

Komisi III rapat dengar pendapat (RDP) bersama pakar hukum terkait penyusunan RUU KUHAP. (IDN Times/Amir Faisol)

Pengacara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto itu juga mengusulkan, para tokoh politik yang memang pada dasarnya sangat jelas bisa di-tracking, tak perlu ditahan sebelum ada putusan, apalagi belum ada bukti.

"Orang-orang yang jelas tokoh politik, rumahnya jelas, gampang melihatnya, mestinya tidak perlu kita lakukan penahanan, apalagi belum ada bukti yang sangat substansial bahwa orang ini sudah melakukan kejahatan," kata dia.

Selain itu, kalau Indonesia mau meniru KUHAP yang dipercayai oleh Belanda ada istilah yang disebut Finansial Penalti Act 1983. Seseorang yang menjadi tersangka, mempunyai hak untuk datang kepada jaksa bersama-sama menghadap hakim agar dia tidak diadili, dengan cara membayar denda kepada negara. Denda tersebut selain yang diwajibkan di dalam putusan nanti.

"Atau misalnya karena kesalahannya dia melanggar apa dan itu menimbulkan denda, maka denda itu akan dia bayar. Selain itu, ada kewenangan negara untuk menjatuhkan hukuman denda kepada dia yang lebih besar lagi," kata Maqdir.

2. Praperadilan perlu diatur di RUU KUHAP

Rapat Komisi III DPR (dok.Humas KPK)

Pada kesempatan itu, Maqdir turut menyoroti soal praperadilan. Menurut dia, praperadilan sesuatu yang perlu diatur di dalam RUU KUHAP. 

Dia mengatakan, sekarang ini penetapan tersangka hanya didasarkan setelah ada dua alat bukti. Hal itu mengacu para Surat Edaran Mahkamah Agung (MA). 

"Artinya apa, keterangan saksi dan keterangan ahli itu sudah cukup untuk menjadikan seseorang menjadi tersangka," kata dia.

3. KPK dan Kejagung disebut sering gandeng ahli tak kompeten

Gedung KPK (IDN Times/Aryodamar)

Maqdir juga menyoroti terkait penanganan perkara korupsi oleh Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung, yang disebut selalu menggandeng ahli tak kompeten.

Misalnya, KPK dan Kejagung biasanya menggunakan ahli manajeman bukan ahli keuangan negara.

"Sekarang perkara korupsi itu cukup sekarang ini, apakah yang dilakukan KPK atau Kejaksaan Agung, cukup ada saksi dan ada ahli. Ahli ini bukan ahli keuangan negara, tapi ahli manajemen," kata dia.

Editorial Team