Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)
Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Jakarta, IDN Times - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) rentan digunakan sebagai alat untuk mengkriminalisasi pengkritik ulama.

Ketua Bidang Pengembangan YLBHI, Febiyonesta, menggarisbawahi pasal 250 dan 313 RKUHP yang tidak memberikan batasan jelas ihwal makna penistaan. “Di dalam konteks Indonesia, saya pikir caci maki, bahkan kritik atau pendapat yang tidak sepenafsiran bisa kena pasal itu. Karena ada frasa pemidanaan yang gak jelas seperti frasa penodaan,” kata Febi di LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (2/7).

1. Kritik yang baik bisa dianggap menistakan

Unsplash/ rawpixel

Untuk diketahui, pemerintah berencana mengesahkan RKUHP akhir Juli 2019. Bila RKUHP disahkan namun tidak ada perubahan terkait pasal penistaan agama, Febi menilai hal tersebut sebagai kemunduran demokrasi.

Menurutnya, kritik adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Kondisi sosio-demografi Indonesia yang multikultural menjadikan perbedaan pandangan dan tafsiran merupakan hal yang lazim. “Kalau nanti kritik yang membangun, yang konstruktif, akan mudah dikriminalisasi karena mungkin si ulamanya merasa terhina,” tambahnya.

2. Rentan disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu

IDN Times/Vanny El Rahman

Pengacara publik LBH Jakarta, Rasyid Ridha menambahkan, pasal penistaan agama tanpa keterangan yang rigid berpotensi dimanfaatkan oleh penguasa serta aparat penegak hukum.

“Tidak jelas tafsir norma penghinaannya, sampai sejauh mana seseorang sudah dianggap menghina agama? Ketika orang melakukan tafsir yang berbeda, apakah itu sudah dikatakan menghina? Kalau tidak jelas, maka penindakan yang terjadi berpotensi penindakan sentimentil bukan berdasarkan kebenaran,” beber dia.

3. Sangat mungkin menimbulkan kegaduhan publik

IDN Times/Vanny El Rahman

Menurut Febi, tidak adanya penafsiran yang jelas merupakan bentuk kemalasan pemerintah untuk membuat aturan yang rigid. Karenanya, ia bersama Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan mendorong supaya pemerintah tidak tergesa-gesa mengesahkan RKUHP.

Lebih jauh, bila RKUHP ini disahkan, tidak menutup kemungkinan kegaduhan publik akan muncul akibat pasal penistaan agama.

“Siapapun bisa melaporkan. Misalnya pasal penghinaan presiden, itu delik aduan, jadi si terhina harus melapor sendiri. Tapi di pasal penghinaan presiden bisa diwakilkan. Nah, mungkin gak dipasal penodaan agama (diwakilkan pelapornya)? Sangat mungkin,” kataFebi.

Editorial Team