Entah saya yang malas, atau memang semakin tua, semakin sedikit lingkar sosial yang saya anggap penting.
Beberapa tahun lalu, saat masih kuliah atau baru lulus kuliah, bisa ada belasan buka puasa bersama yang saya datangi, dari geng SD, teman SMA, OSIS angkatan sendiri, OSIS angkatan bawah, ekskul, BEM, dan masih banyak lagi. Bulan puasa adalah ajang eksis untuk membuktikan pada dunia bahwa saya cukup penting dan populer karena tergabung dalam begitu banyak afiliasi — dan iya, pakai embel-embel ‘menyambung tali silaturahmi’ alias ‘yes, ada foto bareng lagi’.
Semakin kesini saya semakin merasa waktu semakin berharga — mungkin karena semakin tua, ya?
Dengan pekerjaan yang semakin menumpuk dan tanggung jawab yang semakin banyak, semakin sedikit waktu luang yang ada. Kalaupun ada, sepertinya lebih baik dipakai untuk bersama mereka yang betul betul penting — sahabat dekat dan keluarga.
Kamu pernah bertanya-tanya tidak, kenapa sih segala ucapan ‘kangen-kangen’ baru muncul kalau bulan puasa? Lah, ke mana saja sebelas bulan yang lain? Kenapa semua lingkar sosial tiba-tiba 'menyala' lagi sekarang? Lalu, toh pada akhirnya kalau datang bukber mentok-mentok kita akan berakhir ngobrol dengan yang dekat saja — mereka yang selama sebelas bulan lainnya selalu ada di chat teratas kita.
Belum lagi, terkadang bukber berbalut reuni ini malah jadi ajang pamer dan ajang nyinyir di mana saya harus menahan emosi kalau ada yang nanya "kok gendutan?", "kok belum nikah?", "kok belum dilamar?", "kok belum punya anak?", dan pertanyaan menyebalkan lainnya. Buat saya sih, daripada emosi, kesal, dan malah dosa karena ngatain, mending buka puasa sendiri atau dengan yang tidak menyebalkan.
Lalu, bukankah esensi bulan Ramadan itu ketenangan dan mendekatkan diri pada Tuhan? Biasanya kalau buka puasa bersama ujung-ujungnya enggak salat magrib apalagi tarawih karena musala ramai atau lagi asik — buat apa toh puasa kalau salatnya ditinggal? Terlalu sibuk memikirkan jadwal bukber setiap hari, mau pakai baju apa, makan di mana, dan harus impress siapa akhirnya malah bikin kita tidak sadar kalau bulan puasanya lewat begitu saja — and that’s the saddest thing in Ramadan: tiba-tiba sudah takbiran dan ketika merunut ke belakang, yang berkesan hanyalah rentetan bukber.
Nah, mumpung masih tanggal muda nih, minggu depan pasti undangan yang datang makin banyak, kamu masih punya waktu untuk memilah-milah mana yang harus didatangi, mana yang tidak.
Saya enggak mau ceramahin kamu untuk ke masjid saja setiap hari, toh saya sendiri juga tidak. Saya cuma mau mengajak kamu untuk melihat Ramadan sebagai momentum yang mungkin maknanya jauh lebih besar daripada bukber sana-sini dan saat yang tepat untuk refleksi diri.
Sayang sekali kalau nanti malam takbiran, yang kamu ingat dari bulan ini cuma foto-foto bersama orang-orang yang sebenarnya kamu ajak ngobrol pun hampir tidak pernah. Sayang sekali kalau kalendermu penuh dengan bukber, tapi orang tuamu merasa ditinggal karena kamu tidak pernah di rumah.
Mumpung masih tanggal muda, masih ada waktu untuk menyusun prioritasmu. Selamat berpuasa dan menyusun jadwal!
—Rappler.com
Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya