Pada talasemia, kata Gia, masalah utama terletak pada proses pembentukan hemoglobin yang tidak normal. Hemoglobin adalah komponen penting dalam sel darah merah yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh. Ketika produksi hemoglobin terganggu, sel darah merah menjadi rapuh dan mudah hancur, sehingga pasien mengalami anemia kronis.
“Pasien talasemia umumnya tampak pucat, mudah lelah, sesak, sering infeksi, bahkan bisa mengalami keterlambatan pertumbuhan. Karena usia sel darah merah hanya sekitar 120 hari, anemia akan terus berulang. Inilah sebabnya pasien harus rutin menerima transfusi darah sepanjang hidupnya,” ujar Gia.
Gia menambahkan, transfusi darah harus dilakukan rutin, ada yang dua minggu sekali, ada yang sebulan sekali. Menurutnya, kalau tidak ada jaminan kesehatan, biaya transfusi, kelasi zat besi, hingga perawatan lanjutan bisa sangat mahal dan nyaris tidak terjangkau.
"Karena terapi ini seumur hidup, bukan hanya satu kali tindakan saja. Terapi ini wajib diberikan untuk mencegah penumpukan zat besi akibat transfusi berulang yang dapat merusak organ vital seperti jantung, hati, dan endokrin. Karena itu, memastikan keberlanjutan terapi adalah hal yang krusial. Transfusi tidak boleh berhenti, obat tidak boleh putus, dan pasien tidak boleh kehilangan akses layanan,” tutup Gia. (WEB)