Jakarta, IDN Times - Sekilas tidak ada yang istimewa dengan bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 600 meter persegi. Gerbang terbuka lebar. Hijau dinding mulai memudar. Paving block juga tidak menutupi seluruh halaman bangunan itu. Sebuah sepeda motor dan sepeda onthel tak bertuan terparkir di sudut halaman.
Senin, 31 Mei 2021, pukul 13.37 WIB itu, terlihat seorang laki-laki tunanetra menggendong bayi keluar dari bangunan itu. Kakinya hampir tersandung ketika mencari sandal yang akan dipakai. Dia menimang bayi yang berada di dekapan. Sesekali menghiburnya dengan tepukan tangan.
Tak lama berselang, seorang pria berkaos biru keluar untuk menutup gerbang. Jarak antara gerbang dengan pintu keluar terpaut beberapa meter.
“Permisi mas, ini pesantren tunanetra ya,” tanya IDN Times, setelah mengamati suasana beberapa menit dari kejauhan.
“Iya, bener. Kenapa mas?” jawab dia, sembari melemaskan kuda-kuda yang semula ia siapkan untuk merapatkan gerbang.
“Mau nanya-nanya soal pesantren, bisa mas?” sahut IDN Times.
“Ooh, bisa-bisa, silakan,” ujar dia, sembari membuka gerbang.
“Silakan parkir, nanti tunggu di kursi sana ya,” katanya, dengan menunjuk kursi yang berada di samping pintu.
Setelah menunggu beberapa saat, lelaki berpakaian batik datang menyapa. Dia adalah Rizal, yang sejak Februari 2021 dipercaya menjadi Sekretaris Yayasan Raudlatul Makfufin.
“Ayok mas ngobrolnya di ruang tamu aja,” ajak Rizal, dengan ramah.
Setelah mempersilakan duduk dan menyuguhkan air minum kemasan, Rizal kemudian memanggil Ade Ismail, Kepala Pesantren sekaligus Kepala Sekolah Islam Terpadu Radulatul Makfufin. Tidak seperti Rizal, Ismail merupakan seorang tunanetra.
“Bisa ngobrol sama saya, nanti juga bisa tanya-tanya sama pak Ismail,” kata Rizal.
Perbincangan 30 menit bersama Rizal dan Ismail mengubah sepenuhnya persepsi pada bangunan sederhana ini. Kendati tidak bertingkat dan hanya memiliki enam ruangan serta satu kamar mandi, bangunan ini ternyata menghimpun asa bagi para tunanetra.