ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Dalam rilis itu disebutkan, Jokovic mengatakan dari hasil survei lembaganya itu, disimpulkan masyarakat Indonesia sudah tidak percaya dengan kebohongan calon presiden (capres) nomor urut 01 Joko 'Jokowi' Widodo.
“Dari 3.032 responden, sebanyak 58 persen menyatakan bahwa Indonesia sedang dikelola oleh Pemerintahan Joko Widodo memburuk. Indonesia dianggap dalam ancaman utang yang makin meningkat 69 persen menjadi Rp4.416 triliun pada 2014-2018,” ujarnya.
Selain itu, 54 persen responden disebut menginginkan presiden baru dan yang masih menginginkan Jokowi kembali jadi presiden hanya 37 persen, dan 9 persen responden tidak memberikan jawaban.
Saat nama Jokowi dan Prabowo Subianto ditanyakan kepada 3.032 responden untuk dipilih sebagai presiden, yang jika pemilihan presiden digelar hari ini, hasilnya sebanyak 38 persen memilih nama Jokowi. Sementara yang memilih nama Prabowo sebanyak 40 persen.
Dalam rilis itu juga dijelaskan bahwa survei dilakukan kepada warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih di Pemilu 2019, dan juga untuk distribusi media umum. Wawancara lengkap dilakukan pada 22 Maret- 4 April 2019, dengan jumlah responden 3.032 dari 800.091 TPS di 499 kabupaten/kota di 349 provinsi. Padahal provinsi di Indonesia hanya ada 34.
Wawancara juga diklaim dilakukan secara acak dan dilakukan melalui telepon menggunakan profesional- staf peneliti survei terlatih (agen langsung) dari pusat panggilan telepon Precision Public Policy Polling di Jakarta.
Lantas, benarkah ada survei ini? Benarkah ada lembaga survei bernama Precision Public Policy Polling (PPPP)?