Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta Pusat (dok. MK)
Kendati demikian, MK tak melarang DPR RI, sebagai pembentuk undang-undang, membuat aturan agar jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tidak terlalu banyak.
“Sekalipun dalam putusan a quo, Mahkamah telah menegaskan dalam pertimbangan hukum di atas bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional (constitutional right) semua partai politik, yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, dalam revisi UU 7/2017, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak, sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat,” tutur Saldi.
Dalam putusan ini, MK pun memberikan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) untuk meminimalisir munculnya jumlah kandidat yang terlalu banyak, yakni dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).