Ilustrasi kampanye politik uang (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Dalam pertimbangan yang dibacakan dalam persidangan, seluruh paslon baik sebagai Pemohon maupun Pihak Terkait terbukti melakukan politik uang. Sehingga, MK memerintahkan kepada KPU untuk PSU tanpa mengikutsertakan dua paslon yang ikut sebelumnya dan meminta agar partai politik untuk mengusulkan paslon baru untuk mengikuti PSU dalam waktu paling lambat 90 hari setelah putusan MK.
Hakim MK, Guntur Hamzah mengungkap adanya bukti praktik politik uang (money politics) yang masif pada kedua pasangan calon.
“Berdasarkan rangkaian bukti dan fakta hukum persidangan, Mahkamah menemukan fakta adanya pembelian suara pemilih untuk memenangkan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 2 dengan nilai sampai dengan Rp16.000.000 untuk satu pemilih," ucap Guntur. "Bahkan, Saksi Santi Parida Dewi menerangkan telah menerima total uang Rp64 juta untuk satu keluarga,” lanjut dia.
Kemudian, praktik serupa juga ditemukan pada Pasangan Calon Nomor Urut 1. MK mendapati bukti bahwa suara pemilih dibeli dengan nilai hingga Rp6.500.000 untuk satu pemilih, disertai janji akan diberangkatkan umrah apabila menang. Fakta itu sempat dibeberkan oleh Saksi yang dihadirkan dalam persidangan. Ia mengaku menerima total uang sebesar Rp19,5 juta untuk satu keluarga.
Praktik politik uang tersebut diketahui terjadi saat Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah, dan TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru.
"Oleh karena itu, dalam perkara a quo, adalah tepat dan adil, baik Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 1 maupun Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 2 dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Barito Utara Tahun 2024 dinyatakan kedua pasangan calon telah melakukan praktik money politics yang menciderai prinsip-prinsip pemilihan umum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945," imbuh Guntur Hamzah.
Dengan demikian unggahan yang beredar di media sosial tersebut sesuai dengan fakta.