Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Bivitri nilai Putusan MK 135/2024 konstitusional.

  • MK masih dalam kapasitasnya menjalankan tugas konstitusional.

  • NasDem sebut Putusan MK terkait pemisahan pemilu inkonstitusional.

Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang meminta agar pemilu nasional dan daerah/lokal dipisah idealnya harus dibarengi dengan Revisi UU Pemilu, Pilkada, MD3, dan APBN. Hal tersebut sebenarnya sudah ditekankan MK yang menginstruksikan agar pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU melakukan rekayasa konstitusional.

"Makanya memang undang-undang pemilu, pilkada, MD3, APBN itu semua mesti diubah. Makanya disebutnya rekayasa konstitusional. Diubah untuk misalnya di beberapa undang-undang yang disebutnya 5 tahun sekali misalnya. Misalnya undang-undang MD3 itu kan bilang masa jabatan itu 5 tahun sekali," kata dia saat ditemui usai jadi Ahli dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

"Nah itu mesti diubah, menyesuaikan khusus untuk yang akan datang ini ya. Berarti 2029, mundur 2 tahun, gitulah misalnya ya. Jadi yang dimaksud dengan rekayasa konstitusional itu seperti itu. Di level undang-undang diubah supaya sesuai dengan putusan yang dihasilkan," sambungnya.

1. Bivitri nilai Putusan MK 135/2024 konstitusional

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti saat ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat pada Selasa, (1/7/2025) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Bivitri pun mengkritisi pernyataan Partai NasDem yang menyebut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 melanggar konstitusi. Ia menilai, Putusan MK ini masih konstitusional karena MK tidak membuat Undang-Undang (UU) baru sebagaimana yang ditudingkan. Menurutnya, MK hanya memberikan tafsiran.

"Tetap konstitusional karena yang mereka bukan bikin undang-undang baru, yang mereka lakukan adalah menafsirkan konstitusi, jadi masih konstitusional," kata dia saat ditemui usai jadi Ahli dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

2. MK masih dalam kapasitasnya menjalankan tugas konstitusional

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Bivitri juga menanggapi adanya narasi dari NasDem yang menyebut Putusan MK inkonstitusional karena menjadikan pemilihan anggota legislatif (pileg) DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak diselenggarakan secara rutin lima tahun sekali, sebagaimana amanah Pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan Putusan MK Nomor 95/2022.

"NasDem tuh bilangnya pemilu menjadi tidak rutin. Sebenarnya juga di dalam Putusan 135 itu sudah dijelaskan dan bisa diterima dengan penalaran hukum yang wajar, istilahnya begitu. Jadi bukan, kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka," tegas dia.

Menurut Bivitri, NasDem dan parpol lainnya menolak Putusan MK 135/2024 karena mengusik kenyamanan mereka dalam gelaran kontestasi politik. Padahal Putsan MK ini harusnya jadi angin segar bagi masyarakat luas dan demokrasi.

"Tentu saja Nasdem mungkin maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK," tutur dia.

Sebaliknya, Bivitri mengaku khawatir keberadaan MK yang saat ini jadi benteng terakhir harapan masyarakat digembosi kewenangannya. Salah satu caranya melalui Revisi UU MK hingga mengganti Hakim MK yang saat ini sudah bekerja dengan baik.

"Nah, jadi memang benteng pertahanan demokrasi kita menurut saya MK. Jadi sebenarnya, sinyal dari Nasdem dan mungkin partai lainnya, mengkhawatirkan. Saya khawatir nanti MK-nya akan diserang, pakai kewenangan bikin undang-undang, misalnya revisi UU MK, atau ganti—memang mau ada 2 sih yang pensiun tahun depan kan, 2 hakim—atau ganti orang," imbuh dia.

3. NasDem sebut Putusan MK terkait pemisahan pemilu inkonstitusional

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem menilai, Putusan MK 135/2024 terkait pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah melanggar UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat mengatakan, putusan MK yang memisahkan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan kepala daerah dan DPRD ini termasuk keputusan yang inkonstitusional.

"Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat, dan merupakan putusan inkonstitusional," kata Lestari, dalam jumpa pers di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).

Lestari mengingatkan, perlu dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Menurutnya, penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022.

"Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda," kata Wakil Ketua MPR RI itu.

Sebagai informasi, dalam amar putusannya, MK memerintahkan pelaksanaan pemilu pada tahun 2029 tak lagi digelar secara serentak. MK juga memerintahkan adanya pemisahan rezim pemilu nasional dan lokal.

MK memerintahkan agar ada jeda antara pemilu tingkat nasional dan daerah digelar paling cepat jeda 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan. Pemilu nasional yang dimaksud meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.

Editorial Team