Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bivitri Sentil NasDem soal Klaim Putusan MK 135/2024 Inkonstitusional

WhatsApp Image 2025-07-01 at 14.53.17 (1).jpeg
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti saat ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat pada Selasa, (1/7/2025) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • MK masih dalam kapasitasnya menjalankan tugas konstitusional
  • NasDem dan partai lain menolak karena kenyamanannya diacak MK
  • NasDem sebut Putusan MK terkait pemisahan pemilu inkonstitusional

Jakarta, IDN Times - Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti mengkritisi pernyataan Partai NasDem yang menyebut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 melanggar konstitusi. Ia menilai, putusan MK ini masih konstitusional karena MK tidak membuat Undang-Undang (UU) baru sebagaimana yang ditudingkan. Menurutnya, MK hanya memberikan tafsiran.

"Tetap konstitusional karena mereka bukan bikin undang-undang baru, yang mereka lakukan adalah menafsirkan konstitusi, jadi masih konstitusional," kata dia saat ditemui usai jadi ahli dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

1. MK masih dalam kapasitasnya menjalankan tugas konstitusional

IMG-20250701-WA0009.jpg
Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti (YouTube/Mahkamah Konstitusi)

Bivitri juga menanggapi adanya narasi dari NasDem yang menyebut putusan MK inkonstitusional karena menjadikan pemilihan anggota legislatif (pileg) DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak diselenggarakan secara rutin lima tahun sekali, sebagaimana amanah Pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan Putusan MK Nomor 95/2022.

"NasDem tuh bilangnya pemilu menjadi tidak rutin. Sebenarnya juga di dalam putusan 135 itu sudah dijelaskan dan bisa diterima dengan penalaran hukum yang wajar, istilahnya begitu. Jadi bukan, kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka," tutur dia.

2. NasDem dan partai lain menolak karena kenyamanannya diacak MK

WhatsApp Image 2025-07-01 at 14.53.17.jpeg
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti saat ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat pada Selasa, (1/7/2025) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Menurut Bivitri, NasDem dan parpol lainnya menolak Putusan MK 135/2024 karena mengusik kenyamanan mereka dalam gelaran kontestasi politik. Padahal putsan MK ini harusnya jadi angin segar bagi masyarakat luas dan demokrasi.

"Tentu saja Nasdem mungkin maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK," tutur dia.

Sebaliknya, Bivitri mengaku khawatir keberadaan MK yang saat ini jadi benteng terakhir harapan masyarakat digembosi kewenangannya. Salah satu caranya melalui Revisi UU MK hingga mengganti Hakim MK yang saat ini sudah bekerja dengan baik.

"Nah, jadi memang benteng pertahanan demokrasi kita menurut saya MK. Jadi sebenarnya, sinyal dari NasDem dan mungkin partai lainnya, mengkhawatirkan. Saya khawatir nanti MK-nya akan diserang, pakai kewenangan bikin undang-undang, misalnya revisi UU MK, atau ganti—memang mau ada dua sih yang pensiun tahun depan kan, dua hakim—atau ganti orang," ucapnya.

3. NasDem sebut putusan MK terkait pemisahan pemilu inkonstitusional

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem menilai, Putusan MK 135/2024 terkait pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah melanggar UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat mengatakan, putusan MK yang memisahkan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan kepala daerah dan DPRD ini termasuk keputusan yang inkonstitusional.

"Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat, dan merupakan putusan inkonstitusional," kata Lestari, dalam jumpa pers di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin (30/6).

Lestari mengingatkan, perlu dipahami pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Menurutnya, penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022.

"Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda," kata Wakil Ketua MPR RI itu.

Diketahui, dalam amar putusannya, MK memerintahkan pelaksanaan pemilu pada 2029 tak lagi digelar secara serentak. MK juga memerintahkan adanya pemisahan rezim pemilu nasional dan lokal.

MK memerintahkan agar ada jeda antara pemilu tingkat nasional dan daerah digelar paling cepat jeda 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan. Pemilu nasional yang dimaksud, meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah, meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us