Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-11-30 at 20.40.44.jpeg
Tim Basarnas saat melakukan pencarian korban banjir dan longsor di Aceh. (Dokumentasi Basarnas untuk IDN Times)

Intinya sih...

  • Berbagai daerah aliran sungai mengalami degradasi selama puluhan tahun, menimbulkan risiko besar di wilayah Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, hingga Langsa.

  • Indonesia fokus untuk pemulihan dan restorasi lingkungan agar terbangun harapan sedikit untuk ketangguhan di masa depan.

  • Hingga hari ketujuh kondisi banjir banyak wilayah masih terisolir seperti Peunaron, Aceh Timur, Langsa, hingga Aceh Tamiang yang dekat dengan Medan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Direktur Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA) Farwiza Farhan menilai banjir besar yang melanda hampir seluruh wilayah Aceh tahun ini terjadi akibat rangkaian faktor yang saling memperburuk satu sama lain.

“Kerusakan hutan sudah di tahap yang sangat parah dan ketidaksigapan bencana yang ada di pemerintah kita. Sehingga keadaannya bisa seperti ini,” ujarnya dalam program Ngobrol Seru by IDN Times, Senin (1/12/2025).

Menurut Wiza, fenomena curah hujan ekstrem tidak bisa berdiri sendiri sebagai penyebab utama bencana banjir bandang ini.

“Curah hujan yang tidak biasa ketemu dengan kerusakan hutan yang sudah sangat parah sehingga resilience dan ketahanan tanah itu menjadi berkurang jauh,” katanya.

1. Kerusakan hutan puluhan tahun perparah dampak banjir Aceh

Kementerian Sosial (Kemensos) kembali menyalurkan bantuan bencana di Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat (Sumbar) senilai total Rp19.099.409.350. (Dok. Kemensos)

Dia menambahkan berbagai daerah aliran sungai telah mengalami degradasi selama puluhan tahun. “Kerusakan hutan yang terjadi 40 tahun yang lalu masih kita rasakan dampaknya sekarang,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia wilayah Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, hingga Langsa terus menanggung risiko besar akibat keputusan tata kelola hutan yang diambil 30-40 tahun lalu.

2. Memperbaiki itu perlu waktu

Foto udara melintasi jalan nasional Medan-Banda Aceh yang terendam banjir di Desa Peuribu, Arongan Lambalek, Aceh Bara, Aceh, Kamis (27/11/2025) (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

Wiza mengatakan, Indonesua fokus untuk pemulihan dan restorasi lingkungan agar terbangun harapan sedikit untuk ketangguhan di masa depan. Karena, menurutnya memperbaiki itu perlu waktu.

"Kalau kita nggak mulai sekarang, mungkin kita nggak akan punya kesempatan untuk bisa punya masa depan. Ya, jangankan masa depan. Dulu kan kita bicara soal krisis iklim ini adalah krisis yang akan dihadapi oleh masyarakat masa depan," ujarnya.

3. Banyak wilayah masih terisolasi

Kondisi banjir yang dipicu hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara sejak Minggu (23/11) (Dokumentasi BPBD Kabupaten Aceh Tenggara)

Wiza menceritakan, hingga hari ketujuh kondisi banjir banyak wilayah masih terisolasi seperti Peunaron, Aceh Timur, Langsa, hingga Aceh Tamiang yang dekat dengan Medan saja terisolir.

"Jalannya putus di Semadam. Apalagi kita bicara daerah Aceh Tengah, Benar Meriah, Linge itu semua masih terisolir. Banyak teman-teman kita di sana bahkan dan masyarakat dampingan kita bahkan belum mendapatkan bantuan. Begitu banyak yang hanya punya sedikit sinyal bisa mengirimkan pesan di Instagram terus kemudian hilang," kata dia.

Editorial Team