Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai saat hadir di Makassar, Senin (12/5/2025). IDN Times/Darsil Yahya
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai saat hadir di Makassar, Senin (12/5/2025). IDN Times/Darsil Yahya

Intinya sih...

  • Korporasi atau individu bisa disebut sebagai aktor pelanggaran HAM, tak lagi hanya aparat negara. Pengaturannya harus dilakukan dengan cermat agar tidak tumpang tindih dengan peraturan hukum pidana.

  • Wacana gabungkan Komnas HAM, Komnas Perempuan hingga KPAI punya risiko. Menggabungkan lembaga-lembaga ini berisiko melemahkan fokus dan pendekatan sensitif terhadap isu perempuan dan anak. Beban kerja yang besar dikhawatirkan tak seimbang dengan pemenuhan prioritas tiap

Jakarta, IDN Times - Kementerian HAM telah melakukan kick off revisi Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM pada Kamis (10/7/2025). Menteri HAM Natalius Pigai menilai UU tersebut perlu direvisi mengingat sudah berusia hampir 26 tahun dan banyak isinya yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menjelaskan revisi beleid ini bakal memuat sejumlah hal. Mulai dari penguatan Komnas HAM, memperluas cakupan pelanggar HAM yang tak hanya terbatas pada aktor negara melainkan juga korporasi dan individu, serta wacana untuk gabungkan beberapa lembaga HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan dan KPAI satu lembaga tunggal. KontraS menyoroti bahwa wacana revisi UU HAM harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. 

“Perubahan tersebut juga harus menjawab permasalahan struktural pelanggaran HAM yang terus berulang serta mendengarkan dan berpihak pada korban pelanggaran HAM,” kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya dalam keterangan resmi dikutip Senin (14/7/2025).

1. Masuknya korporasi dan individu sebagai aktor pelanggaran HAM

Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, saat berada di Makassar, Senin (12/5/2025). IDN Times/Darsil Yahya

Rencananya,korporasi atau individu bisa disebut sebagai aktor pelanggaran HAM, tak lagi hanya aparat negara. Perluasan kategori aktor pelanggaran HAM ini juga harus dilakukan dengan cermat, tak tumpang tindih dengan aturan lain yang memuat soal korporasi sebagai subjek tindak pidana yang ada di KUHP baru.

Selain itu  individu yang bukan aparat negara sebagai pelaku pelanggaran HAM juga harus dilakukan dengan cermat, agar pengaturannya tidak tumpang tindih dengan peraturan hukum pidana.

2. Wacana gabungkan Komnas HAM, Komnas Perempuan hingga KPAI punya risiko

Wadah Pegawai KPK laporkan dugaan pelanggaran HAM terhadap 75 pegawai yang tak lolos tes wawasan kebangsaan. (dok. Humas KomnasHAM)

Kemudian, wacana menggabungkan Komnas HAM, Komnas Perempuan dan KPAI dikhawatirkan berpotensi pada pelemahan perlindungan dan pemenuhan hak perempuan serta anak.

“Menggabungkan lembaga-lembaga ini juga berisiko melemahkan fokus, keahlian, dan pendekatan sensitif terhadap isu perempuan dan anak, yang membutuhkan penanganan khusus dan berbeda dari isu HAM umum,”ungkap Dimas.

Nantinya, beban kerja yang besar dikhawatirkan tak seimbang dengan pemenuhan prioritas tiap isu lembaga itu.

Jika mengacu pada standar internasional, General Comment No. 2 Committee on the Rights of the Child menyatakan sebaiknya negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (seperti Indonesia) memiliki lembaga khusus yang menangani persoalan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Oleh karena itu, wacana menggabungkan beberapa lembaga ini harus hati-hati.


3. Melibatkan perspektif korban dalam pembahasan

Aksi Kamisan memperingati 1.000 Hari Tragedi Kanjuruhan di Balai Kota Malang. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

KontraS juga mengingatkan agar pembahasan revisi beleid ini melibatkan korban, tak cukup hanya dari pakar, namun aspirasi korban pelanggaran HAM juga perlu diberikan ruang agar terbuka.

Pemerintah lewat Kementerian HAM juga diharapkan tak hanya fokus pada perbaikan aturan saja, namun juga mengingat 13 kasus pelanggaran HAM berat yang belum ada penyidikan lebih lanjut dan penuntutan. 

“Revisi peraturan perundang-undangan harus disertai dengan komitmen hukum dan politik untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM,” ujar Dimas.


4. Pastikan UU HAM tak hanya naskah tapi diimplementasikan

Ilustrasi HAM (IDN Times/Aditya Pratama)

Terakhir, KontraS turut menyoroti bagaimana sejak Juni 2024-Mei 2025 banyak kasus pelanggaran HAM. Tercatat dalam periode itu ada 67 peristiwa penyiksaan yang menunjukkan adanya masalah struktural. Maka komitmen HAM kata KontraS harus ditunjukkan lewat evaluasi lembaga negara agar tak lagi terulang kasus serupa.

“Pemerintah harus memastikan agar UU HAM tidak sekedar menjadi naskah peraturan perundang-undangan melainkan untuk diimplementasikan khususnya oleh aparat penegak hukum,” kata dia.

Kememham mengungkapkan pihaknya telah menyelesaikan sekitar 60 persen dari draf awal revisi. Sisanya, 40 persen, akan dikaji lebih lanjut dan melibatkan masukan dari publik, para ahli hukum, serta 25 kementerian/lembaga terkait.

Kememham juga mengundang para pakar dan akademisi HAM terkemuka di Indonesia untuk melakukan brainstorming. Diantaranya Prof. Makarim Yudhisono, Prof. Hamid Abbas, Haris Azhar, Dr. Roya Tulu Asmida, Dr. Zainal Akudin, hingga para dosen dan akademisi dari berbagai universitas yang mengajar pada bidang HAM.


Editorial Team