RUU Polri Dinilai Perluas Wewenang, KontraS Soroti Ancaman HAM

- KontraS menyoroti RUU Polri yang memperluas wewenang institusi Polri, berpotensi membahayakan hak sipil dan prinsip demokrasi.
- Perluasan fungsi Polri tercermin dalam banyak kasus kekerasan, terutama saat terjadi demonstrasi besar penolakan RUU TNI dan aksi May Day.
Jakarta, IDN Times - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri karena adanya kecenderungan perluasan wewenang institusi Polri. Menurut KontraS, hal ini berpotensi membahayakan hak-hak sipil dan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam Kertas Kebijakan Hari Bhayangkara 2025 KontraS, dijelaskan, RUU tersebut dinilai memperluas fungsi Polri terutama di ranah intelijen dan penegakan hukum. Salah satu sorotan utama KontraS tertuju pada Pasal 16B Ayat 1 dan 2 RUU Polri yang memberikan wewenang fungsi intelijen kepada Polri.
“Fungsi intelijen Polri dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban hukum berdasarkan Pasal 16B Ayat 1 dan 2 RUU Polri juga berpotensi melanggar kebebasan sipil dan mengacaukan iklim demokrasi karena sudah terlalu jauh masuk ke ranah ruang sipil bahkan ruang privat warga negara (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya," tulis laporan itu, dikutip Senin (7/7/2025).
1. Polisi harus bekerja dalam koridor profesionalisme dan penghormatan pada HAM

KontraS menjelaskan, kegiatan dalam bentuk deteksi dini, peringatan dini, bahkan penindakan dengan alasan pencegahan merupakan ancaman yang nyata pada ruang kebebasan sipil dan ruang partisipasi masyarakat sipil. Hal itu juga berpotensi digunakan secara sewenang-wenang (abusive) demi kepentingan yang bernuansa politis.
Sebagai penegak hukum, kata KontraS, Polrsi semestinya bekerja dalam koridor profesionalisme dan penghormatan terhadap prinsip dasar HAM.
“Penggunaan wewenang secara eksesif oleh anggota Polri pada kondisi tertentu sudah pasti akan berakibat pada terjadinya pelanggaran HAM,” tulis laporan tersebut.
2. Tindakan kekerasan saat momen penolakan RUU TNI hingga aksi May Day

Dari catatan pemantauan KontraS, perluasan fungsi dan tindakan eksesif Polri tercermin dalam banyak kasus kekerasan. Terlebih saat terjadi gelombang demonstrasi besar seperti penolakan RUU TNI pada Maret dan aksi May Day pada Mei 2025.
“Tindakan eksesif anggota Polri yang kerap dijustifikasi melalui alasan penegakan hukum," tulis laporan itu.
Data yang ada disebut meningkat beriringan dengan masifnya gelombang demonstrasi oleh publik terhadap kebijakan negara.
3. Harus dilakukan peningkatan profesionalisme dan kepatuhan terhadap norma prosedural

Selain aspek kekerasan fisik, KontraS juga menyoroti potensi pelanggaran hak fair trial dalam konsep revisi KUHAP, khususnya pada Pasal 89 yang membuka celah praktik penangkapan sewenang-wenang.
Menurut KontraS, solusinya bukan pada perluasan wewenang melainkan pada peningkatan profesionalisme dan kepatuhan terhadap norma prosedural.
KontraS mencatat, setidaknya ada sembilan bentuk tindakan eksesif yang kerap dilakukan Polri, yaitu kekerasan seksual, kriminalisasi, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, penyiksaan, penembakan, dan tindakan tidak manusiawi.
“Peran Polri yang meluas dan eksesif khususnya pada ruang lingkup penegakan hukum tersebut kemudian nampak ingin diperluas dalam RKUHAP. Jika hal tersebut terjadi, maka secara konseptual akan mengganggu stabilitas pembagian kewenangan dan mekanisme check and balances di antara lembaga penegakan hukum," tulis lembar itu.