Deretan Fakta 'Sekolah Vokasi' Muslim Uighur di Xinjiang

Xinjiang, IDN Times – "Anda bisa mengecek langsung saat berkunjung ke Xinjiang apakah laporan-laporan itu benar," kata Wakil Menteri Publisitas Pusat, Jiang Jianguo, saat ditemui di kantornya, di Beijing, Rabu (20/2) lalu.
Pejabat tinggi Tiongkok itu menjawab tudingan bahwa di Xinjiang terjadi represi dan dibangun “kamp konsentrasi bagi muslim Uighur” yang menjadi populasi dominan di kawasan barat Tiongkok.
"Yang terjadi belakangan ini di Xinjiang adalah berkembangnya tiga kekuatan termasuk ekstremisme," kata Jianguo.
Menurut dia, pusat pelatihan vokasi ditujukan bagi warga Xinjiang yang dianggap pernah terlibat aksi terorisme, serta dianggap belum masuk kategori berat, mereka yang dipaksa ikut kegiatan terorisme dan menyadari kesalahan mereka, serta mereka yang terlibat dengan aksi kriminal terorisme dan sudah dipenjara dan dalam evaluasi ditemukan potensi kecenderungan untuk kembali melakukan aksi terorisme.
"Pelatihan vokasi ini tidak berkaitan dengan agama dan etnis tertentu," kata Jianguo, seraya mengatakan, “sekolah vokasi” atau “pusat re-edukasi” itu dilakukan untuk meredam menyebarnya paham ekstremisme dan terorisme.
Di sekolah Shule, Kasghar, saya memang bertemu Paher Tursun (36), warga Uighur non muslim. Tapi, dari sedikitnya tujuh siswa yang saya pilih secara random, cuma dia yang non muslim.
Mayoritas peserta memang warga Uighur.
Laporan yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa belum lama ini juga memuat tuduhan bahwa Pemerintah Tiongkok melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang.
Bagaimana situasi program yang menuai kritik kencang dari pegiat HAM itu?
Disclaimer untuk tulisan ini, selama kunjungan kami didampingi ketat oleh pejabat lokal di Xinjiang. Situasinya berbeda dengan saat saya berkunjung ke sana tiga tahun lalu, di mana saya masih bisa berinteraksi dengan warga biasa di pasar.
1. "Sekolah Vokasi" di Xinjiang didirikan di level perfektur dan level kecamatan, dibiayai pemerintah
Saya mengunjungi empat “sekolah vokasi” selama kunjungan ke Xinjiang, Tiongkok. Pemerintah setempat menyebut dengan “sekolah vokasi” atau “pusat re-edukasi” bagi warga Xinjiang yang dianggap memenuhi tiga kriteria di atas. Sekolah yang saya kunjungi ada di Atush City di perfektur Kezilesu Khirgiz, perfektur Kashi Kasghar, perfektur Hotan (ketiganya level kabupaten), dan di Shule County, Kasghar (setingkat kecamatan).
Bangunan-bangunannya cukup luas dan nampak baru. Jadi masih kinclong. Biaya membangun dan pelaksanaan operasional sepenuhnya ditanggung pemerintah.
"Saya tidak tahu berapa persentasi bagian dana dari pemerintah pusat, dan berapa dari pemerintah otonomi Uighur Xinjiang. Yang jelas semuanya gratis, termasuk bangunan,” kata Haireti Julaiti, direktur sekolah di Atush City, ibu kota Kezilesu Khirgiz. Kabupaten ini letaknya paling barat di wilayah Xinjiang, berbatasan dengan negara Kyrghistan.
Sekolah di Atush dibangun pada 2016, dan digunakan mulai 2017. Begitu juga sekolah di Kashi dan Shule. Bangunan sekolah di Hotan malah baru digunakan pada 2018 awal.
Peserta kebanyakan tersangkut kasus mengakses konten bermuatan ekstremisme dan terorisme.
Menurut UU Anti Terorisme di Tiongkok yang disahkan tahun 2016, melihat dan menyebarkan konten bermuatan ekstremisme dan terorisme adalah perbuatan ilegal.
2. Fasilitas "sekolah vokasi" lengkap bagaikan asrama Hogwarts di buku fiksi Harry Potter
Bangunan baru, rata-rata lima sampai enam lantai. Di Kashi, yang terbesar di antara yang saya kunjungi, saya hitung ada sembilan bangunan dalam satu hamparan seluas 15 hektare. Luas banget. Sementara di Atush City tiga bangunan berdiri di atas lahan seluas 1,2 hektar.
Fasilitasnya mirip sekolah asrama yang ada di seantero Tiongkok. Mirip juga dengan fasilitas yang ada di novel fiksi Harry Potter, yang berpusat di kegiatan sekolah untuk penyihir di Hogwarts. Bedanya, Hogwarts bangunan kuno. Sementara sekolah vokasi merupakan bangunan baru, terang-benderang, dibangun dengan arsitektur irit listrik karena semua ruangan termasuk kamar tidur di asrama menggunakan jendela kaca lebar-lebar.
Di setiap komplek sekolah terdapat ruang-ruang kelas untuk belajar soal bahasa Mandarin, Konstitusi, Hukum dan Perundang-undangan. Mata ajaran lain yang digemari adalah studi tentang e-commerce, yang mengajarkan manfaat menjual produk secara daring.
“Lulus dari sini saya ingin bisa lebih baik berjualan barang secara online,” kata Abdul Kudus, 21 tahun, murid re-edukasi di Hotan Center.
“Guru-gurunya kami datangkan guru-guru terbaik dari sekolah sekitar di kawasan ini. Saya sendiri sudah 25 tahun berprofesi sebagai pendidik,” kata Madjid Mahmud, direktur sekolah di Kashi. Direktur juga berfungsi sebagai kepala sekolah.
3. Ada beragam ruangan untuk pelatihan keterampilan di sekolah vokasi
Selain ruang kelas untuk re-edukasi terutama tentang konstitusi, hukum dan perundang-undangan, ada juga ruang untuk melatih keterampilan, alias sekolah vokasi.
Formatnya sama di semua sekolah yang saya hadiri. Ada ruang keterampilan menjahit, ruang keterampilan menggambar desain baju, ruang keterampilan komputer, ruang keterampilan teknik kelistrikan, ruang belajar seni menari dan musik, dan ruang keterampilan salon kecantikan.
Meliya Ahmadt (30), sedang asyik menggambar desain baju ketika saya temui di sekolah di Kashi. Ibu dua anak ini menunjukkan beberapa desain yang dia buat.
“Saya ingin menjadi desainer setelah keluar dari sekolah ini,” kata Meliya. Dia sudah setahun menjalani re-edukasi.
4. "Sekolah vokasi" memiliki fasilitas pertunjukan seni dan lapangan olahraga yang luas
Setiap kompleks “sekolah vokasi” memiliki fasilitas olahraga yang cukup luas di halamannya.
Di tiga sekolah yang saya kunjungi, murid-murid tengah berlatih olahraga bola basket, bola voli dan tenis meja. Padahal suhu udara minus 2 derajat Celcius.
Di Hotan, yang paling akhir saya kunjungi, karena waktunya masih sekitar Pukul 10.30, tak ada yang olahraga. Semua berkegiatan di kelas maupun ruangan keterampilan.
Di setiap sekolah ada panggung pertunjukan seni untuk memamerkan hasil latihan musik dan tari. Di Atush City dibuat di area makan disediakan kantin dan ruangan makan yang biasa menampung 1.000 siswa di “sekolah vokasi”.
5. Disediakan kantin dan ruangan makan yang bisa menampung 1.000 siswa di "sekolah vokasi"
Di semua sekolah ada kantin yang bisa menampung 1.000 siswa makan dalam waktu bersamaan. Kantinnya bersih. Makan disajikan tiga kali sehari, pukul 09.00, pukul 14.00 dan pukul 19.00 waktu setempat. Oh, ya, di kawasan selatan Xinjiang, matahari terbit lebih lambat, dan terbenam sekitar Pukul 22.00. Jadi semua kegiatan dimulai Pukul 10.00 dan berakhir pukul 23.00.
Menu makan bervariasi, disediakan secara prasmanan.
Saat ke Shule, saya melihat menu makan adalah orak-arik telur, cah sayur dan nasi. Itu makan malam. Di dinding terpampang ragam paket menu makan. Biasanya dalam satu kali menu ada protein daging, atau ayam, atau telur.
Saya melihat beberapa siswa cowok bolak-balik minta tambah nasi dan lauk. Selama masih ada, boleh.
6. "Sekolah Vokasi" menyediakan kamar tidur bagi siswa. Di malam hari, pintu kamar tak bisa dibuka dari dalam tanpa bantuan staf
“Melihat ruang asrama, saya teringat saat bersekolah di SMA dan universitas,” kata Hou Feng Ju, wakil kepala kantor publisitas Xinjiang, yang ikut kunjungan.
Para peserta sekolah vokasi mendapat ranjang dengan kasur tipis, sebuah loker tempat menyimpan barang-barang, seperangkat alat mandi dan gosok gigi, serta sebuah kontainer untuk baju yang diletakkan di bawah tempat tidur.
Semua kontainer tak dikunci. Pintu kamar dalam keadaan terbuka saat jam belajar.
Satu kamar memuat 6-10 tempat tidur. Ada yang menggunakan tempat tidur susun. Untuk cowok, warna seprei dan kamar nuansa biru. Untuk cewek warna pink.
Di dalam kamar ada toilet yang ditutupi tirai dan tempat wastafel semacam tempat cuci piring. Di semua kamar yang saya kunjungi di empat sekolah, ada pesawat televisi yang ditempelkan di dinding di atas pintu.
Semua TV dalam keadaan mati tentunya, karena kami berkunjung saat jam belajar.
Kecuali ketika ke Atush City, itu hari Minggu. Seorang jurnalis lokal yang ikut meliput, memberi tahu saya bahwa seharusnya tidak ada kegiatan di hari Minggu itu. “Jadi, sekolah harus mengumpulkan semua siswa untuk menerima kunjungan kalian,” kata sang jurnalis.
Wah.
Bedanya dengan asrama sekolah yang dialami Feng Ju adalah siswa tak bisa membuka sendiri kamarnya jika sudah ditutup.
Pukul 23.00 semua siswa harus masuk kamar. Saat di Hotan, kami mendapatkan bahwa kamar-kamar tidak memiliki handle pembuka dari dalam. Artinya, sesudah masuk kamar dan kamar dalam keadaan tertutup, siswa hanya bisa membuka pintu jika dibukakan dari luar.
“Kan ada tombol alarm dan speaker untuk memanggil staf jika ada keadaan darurat di malam hari,” kilah Mahumuti Mamuti, kepala sekolah di Shule. Dia nampak kaget ketika kami menanyakan mengapa siswa seolah “dikurung” di kamar tidur di waktu malam.
7. Ada juga ruangan bersama, rileks, dan bisa gratis fasilitas kecantikan serta berbelanja
Siswa belajar di kelas dan keterampilan sampai pukul 18.30. Kemudian makan malam. Sesudah itu, sebelum waktu masuk kamar untuk tidur, mereka boleh rileks.
Ada yang melukis, disediakan ruang melukis. Ada yang mau membaca di perpustakan, boleh membaca. Koleksinya ya buku-buku yang terkait dengan pelajaran termasuk buku peribahasa.
“Saya senang baca buku peribahasa agar koleksi kosakata saya makin banyak,” kata Abdul Kudus.
Yang mau main musik, main catur, juga ada ruangannya.
Mau belanja, disediakan minimarket yang menjual segala jenis kebutuhan sehari-hari. Siswa mendapatkan fasilitas belajar, makan dan tidur gratis. Tetapi mereka bisa beli kebutuhan sehari-hari dengan uang sendiri.
Potong rambut dan dandan, kalau sederhana bisa gratis. Termasuk memasang pewarna kuku alias kuteks bagi perempuan. Karena sekalian buat latihan.
“Jika modelnya agak rumit ya bayar. Tapi cuma 5 Yuan,” kata Haireti. Itu setara dengan sekitar Rp10.000.
8. Di "sekolah vokasi" siswa tidak bisa menjalankan ritual ibadahnya
“Konstitusi Tiongkok menjamin kebebasan warganya untuk memeluk agama dan kepercayaannya, maupun tidak beragama,” kata Abdul Amin Jin Rubin, wakil presiden Asosiasi Islam Tiongkok di Beijing, saat ditemui di kantornya, Senin (18/2).
Ucapan ini kemudian saya dengar lagi dari Wakil Menteri Jiang Jianguo.
Tiba di Xinjiang, saya mendapatkan ucapan senada dari Presiden Asosiasi Islam di sana, Abdurikif Turmuyaz.
Sebenarnya ucapan yang sama juga saya dapatkan dari para imam masjid yang saya temui di Beijing, Xi’an (tahun lalu) dan dalam kunjungan ke Xinjiang. Seragam.
Masalahnya, aturan di sana juga melarang warga semua agama menjalankan ritual ibadah di ruangan non religi. Misalnya, pemeluk Islam tidak boleh menjalankan salat di ruang publik termasuk sekolah dan tempat kerja. Begitu juga pemeluk agama lain.
Mheliya Ahmadt mengatakan, dia menjalankan salat saat kesempatan pulang ke rumah. Setiap peserta sekolah vokasi boleh pulang ke rumah seminggu sekali, satu hari. Biasanya pada Sabtu dan Minggu.
Ucapan Mheliya dan sejumlah siswa yang saya wawancarai soal ini dibenarkan kepala sekolah, juga imam masjid.
“Memang aturannya begitu. Mereka bisa beribadah saat pulang ke rumah,” kata Mahumuti Mamuti, kepala sekolah vokasi di Hotan.
“Maka, jarang ditemui anak muda di masjid karena mereka bekerja, mereka tidak boleh leluasa pergi ke masjid,” kata KH Muhiddin Jaenudin, ketika saya tanyai. Muhiddin yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu memimpin kunjungan cek fakta 15 orang dari MUI, Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah ke Xinjiang, pada 22-25 Februari 2019.
Kunjungan ke sekolah-sekolah ini berlangsung rata-rata satu jam. Kendala bahasa membuat wawancara harus dibantu penerjemah dari Grup Penerbit Internasional China (CIPG) yang mengorganisir kunjungan ini.
Sebelumnya, Tiongkok dan pemerintah lokal di Xinjiang membuka akses kunjungan bagi jurnalis sejumlah negara dan diplomat asing. Duta Besar Republik Indonesia di Tiongkok Djauhari Oratmangun termasuk yang berkunjung ke Xinjiang, Desember 2018.