Berkunjung ke Sekolah Vokasi di Xinjiang, Pelatihan Redam Ekstremisme

Xinjang, IDN Times - Bangunan megah lima lantai itu berdiri angkuh di lahan seluas 1,2 hektar. Letaknya di tengah padang batu. Orang di Xinjang menyebutnya padang Gobi karena banyak bebatuan yang cukup besar.
Jam menunjukkan sekitar pukul 18.00 waktu setempat ketika saya dan sejumlah jurnalis mengunjungi Sekolah Pusat Vokasi di Atush City, Minggu, 24 Februari 2019. Atush City adalah ibu kota Kezilesu Khirgiz, sebuah kabupaten di selatan Kawasan Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).
Pemerintah Tiongkok tengah menuai kritik tajam dari lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) atas dugaan pemaksaan "pelatihan" bagi warga muslim Uighur di kawasan ini.
Media menggunakan istilah "kamp penahanan" bagi warga muslim Uighur yang menjadi kelompok etnis minoritas terbesar di Xinjiang.
Komisi HAM PBB menyebutkan telah terjadi pelanggaran HAM di "kamp pelatihan" yang didirikan di Xinjiang. Setelah merebaknya kontroversi itu, Pemerintah Tiongkok diminta untuk membuka akses bagi pemantau dari berbagai negara, termasuk yang populasi muslimnya banyak.
Duta besar Republik Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok, Djauhari Oratmangun berkunjung ke sejumlah sekolah vokasi, demikian pemerintah Tiongkok menyebutnya, Januari 2018.
Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, berkunjung ke Xinjiang pekan lalu dan berkunjung ke sekolah vokasi di Kasghar dan Hotan.
Jumat pekan lalu (21/2), puluhan perwakilan diplomasi negara asing diundang oleh Kementerian Luar Negeri Tiongkok untuk mendapatkan penjelasan tentang program de-ekstrimisasi lewat sekolah vokasi di Xinjiang.
"Saya kirim wakil dubes dan staf ke acara itu. Cukup banyak yang datang," kata Dubes Djauhari ketika saya tanyai Senin pagi, 25 Februari 2019 lewat aplikasi We Chat.
Bagaimana kondisi sekolah vokasi di Atush City? Berikut yang saya saksikan di sana
1. Kisah Waresi Abulisi dan Rebiya Malaaisa, warga muslim Uighur di sekolah vokasi Atush City

Ruangan di lantai satu sekolah vokasi di Xinjiang itu dipenuhi seratusan laki-laki dan perempuan. Mereka tengah belajar menjahit. Yang dijahit sama. Bahan warna putih biru.
Waresi Abulisi, warga muslim Uighur, mengaku sudah "sekolah" di sana selama satu tahun.
"Saya ingin dapat keterampilan kerja," ujar laki-laki bertubuh tinggi besar ini.
Menurut Waresi, pelatihan gratis. Mereka belajar tiga jam di pagi hari, istirahat, kemudian dua jam lagi setelah makan siang.
Di Kezilesu Khirgiz, kegiatan dimulai sekitar pukul 9.00 saat matahari terbit. Di sini adalah lokasi di mana matahari terbenam paling belakangan di seluruh Xinjiang, sekitar pukul 23.00 waktu setempat.
Waresi yang mengaku berusia 42 tahun ini tinggal di Atush City, tak jauh dari lokasi pelatihan. Waresi mengaku diperbolehkan pulang menemui keluarganya, satu hari dalam seminggu. Ada fasilitas video call juga di sekolah ini.

Rebiya Malaaisa, menyambut jabat tangan saya dengan hangat. Seperti halnya saat wawancara Waresi, saya memilih sendiri Rebiya sebagai narasumber. Memilih secara acak.
Saya tertarik kepada Rebiya. Wajahnya rada memelas. Di wajah perempuan muslim Uighur ini ada bercak jerawat. Ketika pandangan mata saya menyapu deretan perempuan di ruangan itu, Rebiya tersenyum.
Rebiya yang mengaku berusia 24 tahun, baru dua bulan jalani pelatihan.
"Sebelum ikut pelatihan ini, saya tergolong perempuan yang suka main telpon seluler. Suatu hari saya tidak sengaja mengakses situs bermuatan ekstremis. Sikap saya berubah. Saya diajari untuk tidak berhubungan dengan suku lain," tutur Rebiya.
"Teman melihat perubahan saya. Polisi dan aparat desa mengajak saya ikut pelatihan di sini agar saya terbebas dari paham ekstrimis dan dapat ketrampilan," sambungnya.
Anak bungsu dari dua bersaudara ini mengaku kangen dengan putrinya semata wayang yang diurus suaminya di rumah.
"Keluar dari sini saya ingin bisa bekerja menambah penghasilan keluarga," kata Rebiya. Dia mengaku sebelum masuk pelatihan hanya lulus SMP.
2. Peserta "sekolah vokasi" mengaku memilih sendiri bidang ketrampilan yang didalami

Waresi dan Rebiya mengaku memilih sendiri pelatihan menjahit. Di pelatihan ini ada juga pelatihan menari dan memotong rambut serta soal kecantikan. Untuk modal kerja di salon.
Di ruang-ruang kelas yang ada di lantai 2, beberapa peserta sedang latihan melukis serta latihan menulis dalam bahasa Tiongkok.
"Banyak yang belum bisa berbahass Tiongkok, sehingga sulit berkomunikasi dengan etnis lainnya," kata Presiden Institut Islam Xinjiang Abdurikif Turmuyaz, saat kami temui di Urumqi, pekan lalu.
Maka, pelajaran bahasa, konstitusi, hukum dan perundang-undangan menjadi pokok materi penting di sekolah itu.
3. Peserta "sekolah vokasi" akan dievaluasi sebelum dikembalikan ke masyarakat

Haireti Julaiti, direktur sekolah vokasi menyebutkan setiap peserta akan dievaluasi apakah lulus dan bisa kembali ke masyarakat.
"Setahu saya di sini tidak ada peserta yang sebelumnya pernah jadi tahanan penjara karena terlibat aksi teroris," kata Haireti, menjawab pertanyaan saya.
Kami berada di dalam minimarket di lantai 2. Beragam kebutuhan sehari-hari dijual di sana. Peserta bisa membeli kebutuhan sehari-hari. Bayar tentunya.
4. Versi Tiongkok, "Sekolah Vokasi" untuk meredam terorisme dan ekstremisme

"Yang terjadi belakangan ini di Xinjiang adalah berkembangnya tiga kekuatan termasuk ekstremisme," kata Wakil Menteri Publisitas Pusat, Jiang Jianguo saat ditemui di Beijing, pekan lalu.
Menurutnya, konstitusi Tiongkok menjamin kebebasan beragama dan tidak beragama untuk semua warga termasuk etnis minoritas yang jumlahnya ada 56 etnis termasuk Uighur yang beragama Islam.
"Pelatihan untuk kaum muda di Xinjiang kami lakukan untuk meredam ekstremisme di sana," kata Jianguo.
Menurut dia, pusat pelatihan vokasi ditujukan bagi warga Xinjiang yang dianggap pernah terlibat aksi terorisme tapi dianggap belum masuk kategori berat dan mereka yang dipaksa ikut kegiatan terorisme dan menyadari kesalahan mereka. Selain itu juga mereka yang terlibat dengan aksi kriminal terorisme dan sudah dipenjara, lalu dalam evaluasi ditemukan potensi kecenderungan untuk kembali melakukan aksi terorisme.
"Pelatihan vokasi ini tidak berkaitan dengan agama dan etnis tertentu," kata Jianguo.
5. Mau kabur dari "sekolah vokasi? Susah!

Sekolah di Atush City ini letaknya jauh dari mana-mana. Sejauh mata memandang, padang pasir dan batu. Luas tanah untuk sekolah 1,2 hektar dan mulai digunakan 2017. Sekolah mulai dibangun 2016.
Ada 200 peserta yang tengah ikuti pelatihan di sana. Pada 2018, ada 200 peserta juga.
Di halaman depan ada lapangan basket, volly dan meja pingpong. Saat saya berkunjung, ramai yang melakukan aktivitas olahraga di tiga lapangan. Padahal cuaca sangat dingin, 2°C. Kami menggunakan mantel penahan dingin.
Mereka yang berolahraga menggunakan seragam dengan nuansa merah jambu untuk perempuan dan abu-abu untuk laki-laki.
Di lantai 2 ada kantin luas dan panggung pertunjukan seni. Kami sempat dihibur dengan tarian tradisional ala Uighur dan Khirgiz.
Seorang perwakilan pemerintah yang mendampingi kunjungan ini mengatakan, melihat suasana "rilek" di sekolah, gampang untuk kabur. Misalnya menemui keluarga.
Saya meragukan itu.
Para petugas, staf sekolah termasuk pengajar, ada di berbagai sudut ruang dan halaman. Ke manapun kami bergerak selalu ada yang mengawasi dari dekat.
Saat wawancara dengan Waresi dan Rebiya pun 3-5 staf mendekati, ikut mendengar. Saya merasa "dikepung" saat wawancara itu. Tentu saya dibantu penerjemah dari staf kemenlu Tiongkok.