ANTARA FOTO/BNPB/pras/18.
Kantor ketiga yang dikunjunginya adalah Radio Proskuneo FM. Usai pertemuan di radio tersebut, dirinya pun memesan taksi online untuk kembali ke hotel tempatnya menginap. Namun, gempa tiba-tiba kembali terjadi saat taksi belum hadir.
“Kami berusaha keluar dari studio, kami jatuh di depan pintu. Saya tinggalkan tas yang saya bawa dan kami lari ke halaman sambil mengawasi jangan sampai antena radio setinggi 60 meter jatuh menimpa kami. Tembok pagar dan rumah sekitar kami juga runtuh,” jelasnya.
Kemudian dirinya bertahan selama 10 menit lalu memutuskan naik ke bukit di Laswani, Timur Kota Palu. Ia menjelaskan bahwa dirinya dibonceng seorang pemuda untuk menuju ke lokasi itu.
“Kami menyelip di antara mobil, motor dan ribuan manusia. Selama perjalanan kami harus menghindari tiang listrik, gedung, dan pohon yang roboh,” ungkapnya.
Bahkan, karena bensin motor yang digunakannya habis, mereka harus menempuh 5 Km dengan berjalan kaki.
“Malam itu kami tidur di jalanan di atas bukit tanpa alas apapun. Semua berbaur dan berdoa hingga tidak terasa lapar atau haus,” ungkapnya.
Setelah hari berganti, dirinya pergi ke sebuah klinik untuk mengobati luka lalu kembali ke hotel untuk mengambil barang. Sayanya, hotel tempat ia menginap telah hancur.
“Ternyata sudah hancur karena gempa dan tsunami. Saya hanya menemkan mayat bergelimpangan,” ujarnya.