Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-10-09 at 11.09.04 (1).jpeg
Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar di IDN HQ, Rabu (8/10/2025). (IDN Times/Uni Lubis).

Intinya sih...

  • Kemenangan Prabowo-Gibran dalam pemilu 2024 mencerminkan tingginya kepercayaan publik, namun tidak sepenuhnya murni.

  • Perbandingan dengan era perpindahan kekuasaan sebelumnya menunjukkan kurangnya kebijakan konkret dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan kepercayaan publik.

  • Terdapat sejumlah kebijakan kontroversial di era Prabowo yang memicu kemarahan publik, seperti kenaikan PPN, instruksi efisiensi APBN, perubahan distribusi LPG, pembentukan Danantara, kisruh RUU TNI, pembekuan uang di rekening, dan tunjangan rumah anggota DPR.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Film dokumenter Dirty Vote kembali menjadi sorotan publik. Setelah film pertamanya yang mengguncang opini publik jelang Pemilu 2024, kini sutradara Dandhy Dwi Laksono bersama tiga pakar, yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti, kembali hadir dengan Dirty Vote II o3.

Film berdurasi empat jam itu diunggah ke media sosial pada 20 Oktober 2025 dini hari, bertepatan dengan satu tahun masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dirty Vote II o3 kembali mengangkat narasi kritis terhadap praktik demokrasi, kebijakan publik, dan tata kelola kekuasaan di tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

1. Kemenangan besar, tapi penuh tanda tanya

Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka usai dilantik pada Minggu(20/10/2024). (youtube.com/MPRGOID)

Dalam film tersebut, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyoroti paradoks besar di balik tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap Prabowo.

“Kita semua tahu Prabowo dan Gibran memenangkan Pemilu Presiden 2024. Prabowo menang 58,6 persen, sementara Anies-Muhaimin di angka 24,9 persen, dan pasangan Ganjar-Mahfud 16,5 persen. Suka atau tidak suka, pasangan Prabowo-Gibran dilantik menjadi presiden,” ujar Zainal di kanal Youtube Dirty Vote.

Namun, menurut Zainal, kemenangan elektoral itu tidak sepenuhnya mencerminkan dukungan publik yang murni. Ia menilai, adanya kesinambungan politik antara era Presiden ke-7 RI Joko "Jokowi" Widodo dengan Prabowo, turut memengaruhi tingkat penerimaan publik.

“Memang survei approval rate bagi Prabowo di 100 hari pertama mencapai 80,9 persen. Tapi jangan lupa, di akhir masa jabatan Joko Widodo sudah berada di angka 75,6 persen. Jadi, kenaikan hanya sekitar 5 persen. Itu artinya ada kesinambungan dukungan, bukan lonjakan baru,” ucap dia.

2. Berbeda bila dibandingkan era transisi dari SBY ke Jokowi

Presiden RI, Prabowo Subianto luncurkan Danantara pada Senin (24/2/2025). (youtube.com/Sekretariat Presiden)

Sebagai perbandingan, Zainal mengingatkan, peralihan kekuasaan dari Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Joko Widodo pada 2014 menunjukkan lonjakan signifikan.

“Di Juni 2014, approval rate SBY 48 persen, tapi di 100 hari Jokowi meningkat ke 65,1 persen, naik hampir 17 persen. Ini yang saya sebut paradoks. Popularitas tinggi Prabowo-Gibran ternyata tidak diiringi dengan kepercayaan diri dalam menjalankan kebijakan publik,” kata dia.

Zainal menilai, tingginya angka dukungan publik seolah tidak berbanding lurus dengan kemampuan pemerintah menerjemahkan kepercayaan itu menjadi kebijakan konkret. Dalam satu tahun pertama, serangkaian kebijakan justru memicu reaksi keras dari masyarakat.

“Belum setahun, sudah terjadi rentetan peristiwa yang memicu kemarahan rakyat,” ujar dia.

3. Ada kebijakan kontroversi di era Prabowo

Presiden Prabowo Subianto memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/10/2025). (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Ada sejumlah kebijakan kontroversi di era Prabowo hingga membuat publik marah, seperti kenaikan PPN menjadi 12 persen pada November 2024, yang akhirnya direvisi karena tekanan publik. Instruksi Presiden tentang Efisiensi APBN 2025 yang memangkas anggaran hingga Rp306 triliun, berdampak pada program sosial dan pelayanan publik.

Kemudian, adanya perubahan distribusi LPG 3 kilogram di tingkat pengecer yang memicu antrean panjang dan kekacauan di lapangan, bahkan memakan korban jiwa.

Pembentukan Danantara, lembaga pengelola dana nasional, yang menuai kontroversi karena persoalan transparansi dan tata kelola. Kisruh RUU TNI yang memicu gelombang penolakan masyarakat sipil, lantaran dianggap menghidupkan kembali semangat dwifungsi ABRI.

Pembekuan uang di rekening yang nganggur selama 3 bulan oleh PPATK. Adanya tunjangan rumah puluhan juta untuk anggota DPR hingga akhirnya dibatalkan.

Puncak kemarahan publik terjadi dengan unjuk rasa di akhir Agustus 2025. Kemarahan publik semakin besar saat pengemudi ojek online, Affan Kurniawan tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat aksi unjuk rasa di depan gedung DPR RI, Jakarta, pada 28 Agustus 2025.

Editorial Team