Dzawin yang sudah memiliki pengalaman mendaki banyak gunung ini mengatakan agar tidak panik jika berada di alam. Menurutnya, pembunuh nomor satu di alam adalah panik.
Lalu, Dzawin kembali menceritakan pengalamannya saat mendaki Gunung Agung bersama temannya. Di sana, jalurnya tidak jelas, banyak bebatuan dan hanya tanda jalur dengan pilox.
Kala itu, kondisi gunung sedang berkabut. Pilox yang berwarna putih itu tentu menjadi samar-samar tertutup dengan kabut yang juga berwarna putih.
“Piloxnya warna putih, kabut warna putih. Semakin tebal kabut, semakin gak jelas. Si pilox lebih mudah dilihat dari bawah ketimbang dari atas,” cerita Dzawin.
“Gunung Agung tingginya 3.100 (mdpl). Waktu itu gue jalan sampai jam 4 sore itu di posisi 2.800, 300 mdpl lagi, gue nyampe puncak. Sekitar dua jam lagi. Bisa gak gue sampai puncak? Bisa. Tapi pertanyaannya, bisa turun gak?” ucap Dzawin menceritakan kondisinya saat itu.
Berkabut, hujan dan kondisi gelap, itulah yang ia rasakan kala itu. Waktu itu, Dzawin berpikir, apabila memaksakan diri melanjutkan perjalanan, ia tidak akan selamat saat turun dari puncak.
“Kalau dalam kondisi itu gue lanjutin, gue berpotensi meninggal. Akhirnya kami memutuskan untuk turun. Saat turun kami kesulitan cari tanda itu karena kehalang kabut. Salah belok satu aja, nyasar jauh, suhu turun. Drastis suhu turun itu dari jam 5 ke jam 6. Dari 15 bisa sampe ke 10, turun lima celcius,” jelas Dzawin.
“Di posisi itu mungkin perkiraan gue bisa di 10 celcius ditambah angin. Di posisi itu, dengan jaket cuma satu lapis, itu kemungkinan hipotermia. Tanpa penanganan jadi mayat,” ucapnya.
Jika seandainya ia melanjutkan perjalanan ke puncak di tengah kabut, akan ada risiko nyasar bahkan bisa sampai kehilangan nyawa.
“Kalau seandainya pada saat itu gue gak turun dan gue lanjut terus, gua nyasar dan gue meninggal. Apa yang dibilang (orang-orang)? Disasarin setan. Gak. Gue yang bodoh,” tutur Dzawin.